Waypoint 7. Budak vs Bandit

3 3 0
                                    

Arthur telah berulang kali bertemu dengan orang berbadan besar, tapi ukuran orang satu ini benar-benar di luar batas wajar.

Tingginya mencapai dua setengah meter dengan tubuh kekar berotot. Perawakannya yang teramat besar membuat parang sepanjang satu setengah meter di tangannya terlihat seperti pisau mainan. Setiap langkah yang diambilnya cukup untuk membuat dunia bergetar.

Dia berhenti beberapa langkah di depan budak yang sebentar lagi akan dilumatnya. Perbedaan tinggi keduanya sangat jauh sehingga membuat Barbro seakan memandang rendah lawannya.

"Habisi dia, Barbro!"

Menerima perintah dari atasannya, bandit raksasa itu mengangguk. Mengangkat tangan kanannya yang memegang senjata, dia mengayunkannya sekuat tenaga.

Tidak peduli bagaimana kau melihatnya, serangan itu sanggup merobohkan pohon besar dalam sekali tebas. Jika mengenai manusia, bisa dipastikan tubuh mereka akan terbelah dua dalam sekejap. Sayangnya, serangan dahsyat itu cuma berakhir mendarat di tanah.

Menarik bola matanya ke atas, Barbro melirik orang yang baru saja menghindari serangan mematikannya.

Bagi orang biasa, serangan barusan terasa bagaikan ayunan sabit malaikat maut. Baik kecepatan maupun ketajamannya sangatlah mengerikan. Tapi bagi Arthur yang pernah melawan badak laknat di labirin, menghindari serangan barusan bukanlah apa-apa. Dia yang pernah menang melawan monster dengan kecepatan setara teleportasi mustahil kalah melawan kecepatan dalam batas kemampuan fisik manusia.

Mencabut pedangnya yang tertancap di tanah, Barbro kembali mengayunkan pedangnya. Seperti sebelumnya, serangannya berhasil dihindari bahkan tanpa perlu membuat Arthur bersusah payah.

Serangan demi serangan dilancarkan namun tidak ada yang mengenai sasaran. Kesal, Barbro melepas vambrace di kedua tangannya. Saat pelindung lengan itu dijatuhkan, terdengar bunyi mirip bom dan kabut asap berhamburan mengelilingi logam yang tenggelam ke dalam tanah tersebut. Tak hanya itu, dia juga melepas pelindung bahu yang tak kalah beratnya.

Begitu pemberat di kedua tangannya menghilang, Barbro mengambil kembali senjatanya. Setelah memberi kesempatan musuhnya untuk bersiap, kini giliran Arthur yang melakukan persiapan.

Menarik satu kaki ke belakang, Arthur memasang kuda-kuda. Kedua tangannya diangkat dan diletakkan dalam posisi melebar di depan badan.

Menutup persiapannya, Arthur merapal mantra, "[Hanazono Art : Odayakana Mizu]"

Sebuah medan tercipta di sekeliling Arthur. Medan ini tak kasat mata dan hanya bisa dirasakan oleh penggunanya.

Ibarat kolam air yang tenang, setiap gangguan sekecil apapun akan menciptakan riak di dalam kolam. Ketika ada sesuatu yang memasuki medan di sekelilingnya, Arthur dapat mendeteksinya dengan jauh lebih cepat. Dia mempelajari skill ini dari temannya, Sakura, yang merupakan pendekar pedang beraliran Teratai Malam – seni berpedang yang lebih menitikberatkan pada pertahanan dan serangan balik.

Begitu persiapan kedua belah pihak selesai, pertarungan kembali dilanjutkan. Keduanya saling bertukar serangan dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata manusia normal. Barbro mengayunkan senjatanya dengan beringas sementara Arthur menangkis setiap serangan dengan tenang.

Tak hanya bertahan, sesekali Arthur juga melancarkan serangan. Seperti saat melawan GuildMaster, Arthur menotok titik-titik saraf lawannya. Jika Ronald bagaikan bongkahan batu yang keras, maka Barbro laksana tembok yang kokoh. Keduanya sama-sama tangguh tapi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

GuildMaster memiliki fisik luar biasa kuat yang membuatnya seakan tidak menerima kerusakan bahkan setelah dibakar dalam tornado api. Akan tetapi, semakin keras suatu logam maka akan semakin rapuh pula juga logam tersebut¹. Maka dari itu, Arthur memilih untuk memberi kerusakan dari dalam ketika melawan GuildMaster.

TAOSC #3 - Side Character the TreasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang