Dua minggu telah berlalu sejak Arthur dijebak dan dijadikan budak. Dan selama dua minggu itu pula dia selalu menjalani 'program pendisiplinan' setiap harinya.
Umumnya, program ini tidak berlangsung lama. Sebab orang-orang yang menjalaninya segera mengembangkan pola pikir bahwa siksaan yang mereka terima akan berakhir lebih cepat apabila mereka menurut dan tidak melawan. Walaupun pada akhirnya mereka tetap akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari waktu ke waktu, setidaknya mereka tidak perlu lagi melalui pelatihan yang tidak manusiawi.
Namun, lain halnya dengan Arthur. Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba 'menjinakkannya', dia tidak pernah tunduk. Meski tidak melawan, sorot matanya tidak pernah goyah. Dia juga tidak pernah berteriak maupun merintih kesakitan seperti orang kebanyakan. Semua ini justru membuat pelatihnya semakin gemas dengan bocah bandel satu ini.
*Klank*
Sesi ospek hari ini telah usai. Arthur, yang ditinggalkan dalam kondisi keempat anggota tubuhnya terantai, tertunduk lesu dengan tubuh penuh peluh dan bilur.
Dalam suasana penjara bawah tanah yang sunyi, seseorang tiba-tiba berbicara.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Freyya dari balik jeruji. Dia baru saja kembali dari mengumpulkan informasi dan menyelinap masuk ketika pelatih sirkus dengan cambuk keluar.
"Sama seperti biasanya."
"Baguslah kalau begitu."
Walaupun tidak ada yang patut disyukuri, setidaknya kondisi mental Arthur yang masih baik-baik saja merupakan kabar baik.
"Bagaimana denganmu? Dapat sesuatu?"
"Sama seperti biasanya. Pengumpulan informasi berjalan lambat tapi stabil. Bagaimanapun juga, mengumpulkan informasi bukanlah keahlianku. Kalau itu Fei, dia pasti mampu melakukannya dalam sekejap."
"Saudarimu itu?"
"Yup."
Dari dulu Arthur penasaran dengan kedua saudari Freyya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rupa maupun kepribadian orang yang berbagi darah yang sama dengan wanita bersayap satu ini. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahasnya.
"Apa kau yakin tidak ingin menggunakan sihir penyembuhan? Luka-lukamu akan membekas loh."
Tubuh Arthur dipenuhi dengan luka lebam dan parut cambuk. Tidak seperti memar yang dapat sembuh seiring berjalannya waktu, luka cambuk bisa meninggalkan bekas luka permanen jika tidak diobati dengan benar.
"Tidak masalah. Kalaupun luka-luka ini berbekas, aku bisa menggunakannya sebagai pengingat akan betapa buruknya budak diperlakukan. Aku selalu percaya bahwa sistem perbudakan tidak seharusnya ada di dunia, tapi itu hanya berdasarkan rasa kemanusiaanku saja. Dengan merasakan sendiri apa yang mereka alami akan menguatkan tekadku untuk menghapuskan perbudakan dari dunia ini," ujar Arthur dengan mata membara.
"Kalau kau sendiri tidak keberatan dengan hal itu maka aku tidak akan berkomentar lebih jauh. Tapi apa rencanamu ke depannya? Jangan bilang kau hanya akan berdiam diri di sini untuk terus-menerus disiksa?"
"....Jujur saja aku tidak punya gambaran nyata tentang apa yang sebaiknya kulakukan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dunia perbudakan yang sesungguhnya. Bukan sebatas di permukaan, melainkan sampai ke inti terbusuknya. Tetapi justru ketidaktahuanku itulah yang membuatku tidak bisa menentukan langkah yang seharusnya kuambil."
Freyya cuma bisa mengangkat bahu atas situasi mereka yang kelabu. Dia bergerak mengumpulkan informasi juga atas permintaan Arthur. Jika pemimpinnya saja bingung, apalagi anak buahnya.
"Mungkin semuanya akan membaik jika ada yang membelimu. Setidaknya akan ada kemajuan dari situasi kita yang sekarang."
"Ya, kupikir kau ada benarnya. Jadi yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu dan berharap akan adanya keajaiban, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOSC #3 - Side Character the Treason
FantasíaApa yang menimpa Desa Zaggan telah mengingatkan Arthur akan wasiat terakhir kakeknya. Setelah membantu pembangunan desa baru untuk para penyintas, Arthur pergi untuk menyelamatkan teman-temannya. Apakah dia akan menyelamatkan teman-temannya yang dic...