02. KAPAN, IBU?

124 46 3
                                    

"Memikirkan perkataan orang lain yang selalu mengeluarkan udikan tanpa berkaca adalah suatu kerugian "
--Fania syafira

••••••

Berlari dan bersenandung dengan lirik berbeda-beda. Nia tak sengaja tersandung oleh sebuah batu besar, yang tertanam oleh tanah dengan sedikit bagian yang mencuat keatas. Membuatnya terjatuh dengan di dahului oleh lututnya dan bertumpu dengan kedua tangan.

"Aduh!" Nia mengaduh sembil berusaha untuk berdiri. Namun, karena lututnya terasa sedikit nyeri membuat ia terduduk kembali ke atas rumput pinggir jalan kecil itu.

"Siapa sih yang tanem batu di jalan, sakit, kan jadinya." Nia mengomel tak lupa dengusan kesalnya, mengomeli batu yang memang sudah berada disitu dengan jengkel, sangat kentara di raut wajah imutnya.

Tak lama terdengar bunyi seperti suara bebek yang bersahutan dan suara langkah kaki, membuat Nia yang mendengarnya mengerutkan keningnya binggung, karena rasa keingintahuan nya itu, ia mendongak dan melihat seorang anak seumurannya berjalan kearahnya dengan tampang senang.

Berdiri dihadapan Nia dengan menggerak-gerakkan kaki kecilnya yang terbalut sepatu mungil yang memiliki suara jika dia berjalan karena tekanan dari kaki, membuat sepatu itu menampilkan lampu warna-warni dari tapak sepatu, tak lupa suara bebek yang keluar dari sepatu itu.

"Nia, liat deh sepa-aduh! kamu kenapa kok kaya kesakitan gitu?," Ucap anak itu. Terhenti karena melihat Nia yang meniup lutut kecilnya sembari meringis kecil, ia mengira Nia hanya duduk biasa di rerumputan itu.

"Jatuh tadi, bantuin dong." terang Nia dengan mengerucutkan bibir mungilnya.

Dengan sigap anak yang bernama Mauren itu membantu Nia untuk berdiri, dengan menarik kedua tangan kecil Nia dengan tangannya.

"Kamu mah, jalan enggak lihat-lihat." Mauren mendengus karena kecerobohan Nia.

"Ya aku kan gak tau, kamu gimana sih." jawab Mauren Tak kalah kesal Nia juga mendengus sebal dengan perkataan Mauren

"Iya-iya, tapi udah gak sakit kan?" Tanya Mauren dengan mensejajarkan wajahnya dengan lutut Nia, berusaha melihat apakah luka Nia sudah tidak apa-apa

"Sakit sih, tapi gak terlalu," sahut Nia. Selalu saja seperti itu, terkadang Nia selalu menyamakan Mauren dengan ibunya, selalu menanggapi hal dengan berlebihan, seperti sekarang ini.

"Perlu di obatan ini mah, ayo kerumah aku nanti aku obatin," tutur Mauren. dengan menggapai tangan Nia, namun dengan cepat Nia menyingkir

"Gak usah Mauren, aku enggak apa-apa kok. Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa." Fania berusaha mengalihkan perhatian Mauren. Mempertanyakan perkataan Mauren tadi, walupun ia sudah mengetahui apa yang akan Mauren sampaikan.

"Ish, seneng banget tau aku, nih liat aku di beliin sepatu sama papi, bagus kan?" Mauren mendengus tapi tak ayal dia seperti melupakan kejadian tadi dan menceritakan apa yang ingin ia sampaikan.

Wajah Nia berubah murung, ia juga ingin seperti Mauren, mempunyai kedua orang tua yang selalu sayang kepadanya, memberikan apa yang Mauren inginkan. Tak ingin muluk-muluk, ia hanya ingin peran kedua orang tuanya, keberadaan mereka di samping Nia saja sudah bisa membuat Nia bahagia, tak perlu membelikan atau pun memberika apa yang Nia inginkan.

Mauren yang melihat wajah murung Nia menjadi merasa bersalah, ia sudah mengetahui apa yang dialami oleh Nia, mereka sudah berteman sedari umur 4 tahun, tak ada rahasia di antara Meraka.

"Emm, Nia." Mauren meringis. Melihat mata Nia yang berkaca-kaca seperti ingin menumpahkan tangisannya

Walau bagaimanapun Nia hanyalah anak kecil yang belum terlalu mengerti dengan apa yang terjadi dihidupnya.

Nia berlari meninggalkan Mauren yang terpaku di tempat nya berdiri, ia sangat merasa bersalah karena membuat Nia sedih, nanti ia akan meminta mami nya, untuk membelikan Nia sepatu yang sama dengan dirinya.

••••••

Selesai memakaikan baju juga perlengkapan lainnya pada Mia, sekarang Mia sudah berada dalam ayunannya siap untuk tidur dengan diiringi nyanyian oleh Sari

"Ibuuuuuu!" dari arah luar terdengar suara Nia yang terdengar terisak.

Sari yang melihatnya dengan cepat menangkap Nia dan memeluk anaknya itu dengan raut khawatir, takut terjadi apa-apa pada Nia.

"Kenapa sayang?" Ucap sari khawatir. Nia sesenggukan dengan menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

"Ibu, kapan ayah pulang, ibu?" Sari tercekat dengan pertanyaan anak sulungnya itu.

"Kenapa ayah enggak pulang-pulang sih? Ayah gak sayang ya sama Nia sama Mia? Kenapa ayah gak mau pulang ibu, apa salah Nia?," Nia bertanya dengan beruntun. Tak lupa Isak tangis pilu nya menandakan bagaimana perasaan nya saat ini.

"Mia, Mia kok ngomong gitu sih? Siapa bilang ayah gak sayang sama Mia? Ayah itu sayang sama Mia, ayah pasti pulang kok hanya aja kan ayah lagi kerja sayang, jadi gak bisa pulang." Sari terpaksa berbohong akan keberadaan suaminya itu. Sudah selama itu ia dan suaminya tidak berkomunikasi karena keadaan, membuat ia tak tau akan keadaan suaminya sekarang.

"Satu kali aja ayah pulang jengukin Nia gak bisa? Papinya Mauren juga kerja, tapi bisa pulang, buktinya Mauren dibeliin sepatu sama papinya," Ucap Nia dengan sedih.

Sekali lagi, Sari berusaha untuk memberi penjelasan kepada Nia. Agar ia paham, bahwa pekerjaan ayah Nia dan papi Mauren itu berbeda. Namun, namanya anak kecil, belum bisa mengerti dengan hal yang seperti itu.

Lelah menangis, akhirnya Nia tertidur di dalam pelukan ibunya yang senantiasa menahan bulir air mata, melihat keadaannya apalagi kedua anak anaknya.

"Sampai kapan ... tuhan," lirihnya.

••••••
Segitu dulu, semoga kalian tidak bosan. Jujur, disini menurutku alurnya sedikit membosankan. Tapiii ... Nanti bakal seru, kok. Kalau sudah masuk tokoh laki-laki nya, jamin deh.

Jangan lupa tinggalkan jejak, guyss.
Vote and comen kalian berharga sangat berharga.
Jangan lupa untuk follow, ya.

Tertanda
gril_04
Call me, Dila.

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang