03. HAPPY BIRTHDAY TO YOU

104 47 2
                                    

"Begitu banyak beban di dunia namun yang tersayang adalah perpisahan orang tua"
--Fania syafira

•••••


Tujuh tahun sudah Fania hidup tanpa peran ayah, sekarang ia sudah mengetahui satu fakta tentang ayahnya. Ia sempat kecewa pada ibunya, karena menyembunyikan apa yang terjadi pada ayahnya. Namun, ia tak sepantasnya menyalahkan ibunya sepenuhnya. Karena ia paham, ada alasan dibalik apa yang di sembunyikan oleh ibunya. Semata-mata, agar Nia dan Mia, tidak akan merasa sedih dengan apa yang terjadi pada ayahnya.

Selama kurun waktu yang tidak singkat itu, banyak perubahan yang terjadi pada hidup Fania. Dari adiknya yang sekarang sudah bisa membuatnya sebal dengan segala tingkahnya, juga perubahan drastis dari ibunya.

Tidak pernah terbayangkan oleh Fania, ibunya akan seperti itu. Dimana pada malam itu, ibunya tega meninggalkannya dan Mia, pada tengah malam berdua di rumah kumuh yang mereka tinggali.

Ibunya pergi dengan seorang lelaki yang Nia pun tidak tau siapa. kecewa! sangat kecewa. Melihat ibu yang sangat ia percaya berbuat hal seperti itu. Nia tidak melarang ibunya untuk mencari pasangan hidup lagi. Namun, apakah salah jika dia bertanya pada anak-anaknya terlebih dahulu?

Salahkah jika ibunya meminta restunya sebagai seorang anak? Sekarang, Nia tidak mengharapkan kedua orang tuanya. Sangat percuma untuk ia mengharapkan ayahnya pulang. Karena beberapa tahun terakhir, terkabar bahwa ayahnya sudah menikah.

Semenjak saat itu, Fania dan Famia sudah tinggal dirumah nenek dan kakeknya. Sudah sebulan sejak ibunya meninggalkan mereka berdua, tanpa adanya informasi dimana ibunya berada.

"Nia gak marah sama ibu, Nia hanya kecewa sama Ibu sama Ayah. Apa sebegitu gak pentingnya Nia sama Mia dihidup kalian, sampai-sampai gak pernah sama sekali usaha buat ngehubungin kita?" Nia menangis dalam kegelapan kamarnya. Menangisi segala hal yang tak bisa ia sampaikan lewat kata-kata.

Selalu seperti ini, disaat ia berusaha untuk selalu terlihat tegar, hatinya tak bisa berbohong. Ia sedih sekaligus marah pada kedua orangtuanya. Sangat! Ingin mencoba membenci mereka. Namun, seberusaha apapun, ia tak akan bisa.

Rasa sayangnya terhadap kedua orangtuanya, tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Sekalipun semua orang menyuruh nya untuk membenci kedua orang tuanya, ia tak akan sanggup. Seberapa besar pun, luka yang mereka torehkan pada hatinya, tak akan mampu membayar jasa yang telah mengadakan ia kedunia.

Walupun kenyataan nya, Fania tak meminta untuk ia di lahir kan kedunia. Itu murni keinginan kedua orang tuanya. Namun begitu, ia bersyukur atas hidupnya, walupun tak sesempurna bayangannya. 'Dibalik semua derita yang dialami, pasti ada hikmahnya' Ia selalu terpaku pada kata itu.

"Nia kecewa, ibu-ayah. Kenapa sih, ibu tega kaya gitu. Apa karna aku masih kecil? Jadi kalian sesukanya kaya gitu, tanpa mikirin Nia sama Mia?" Tetes demi tetes air mata, jatuh dari pelupuk matanya.

Malam ini, tepat hari ulang tahunnya. Nia tak ingin surprise, party, atau apapun itu. Nia hanya Ingin, kedua orang tuanya hadir pada malam ini. Menemaninya, meniup lilin bersamanya, tertawa bersamanya, seperti ulang tahun anak lain, pada umumnya.

Keinginan itu, hanya ia telan dengan pahit. Jangan kan kehadiran mereka, ucapan selamat lewat telepon saja, sudah sangat ia syukuri jikapun itu ada.
Namun, pada dasarnya harapan itu derita bagi mereka yang menaruhnya kepada manusia.

Dari luar kamarnya, terdengar grasak-grusuk dari luar. Seperti berlari, lalu setelah nya samar-samar suara seseorang. Nia yang pada dasarnya kepo, cepat-cepat menghapus air matanya, lalu melangkah keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Takut, ada maling yang masuk kerumahnya.

"DOORRR!" Nia terkejut. Teriakan melengking dari teman masa kecilnya Mauren. Orang yang tak pernah absen dalam memberinya semangat. Selalu menemani nya, dalam suka maupun duka. Mauren sudah seperti saudara nya.

"Happy birthday to you, Happy birthday to you~" Nia menangis terharu dengan kejutan sederhana di hadapannya. Kakek, nenek, Mia. Terlihat memakai topi ulang tahun juga terompet yang tersumpal pada bibir mereka. Tak lupa Mauren, yang senantiasa memegang kue di kedua tangannya, dengan cengiran lebar khas dirinya.

"Happy birthday cucu Kakek. Udah nambah aja umurnya, makin besar berarti. Jadi kapan dong, kasih kakek sama nenek cicit?" Kakek tersenyum bodoh dengan pertanyaan sendiri. sebelumnya umur Nia sepuluh tahun. Itu artinya sekarang, ia sudah bertmbah sebelas tahun. Bagaimana caranya bisa memberi cicit?

"Kakek ada-ada aja, ish." Nenek mendengus sembari mencubit pinggang kakek, tak lupa menggerling kan matanya julid.

"Selamat happy birthday to me sayang. Maap yah, nenek gak bisa kasih kamu apa-apa selain ini," ucap nenek. dengan penuturan bahasa inggris nya yang salah. Dengan menghadiahkan sebuah gelang sederhana yang berbandul bintang kecil pada sisi gelang itu.

Mauren tertawa lepas mendengar ucapan nenek tadi. Hampir saja ia menjatuhkan kue yang berada pada telapak tangannya.

"Nenek salah, ih. kok selamat happy birthday to me, sih." Mauren tak henti-hentinya tertawa. Sebelum mendapat pelototan dari nenek membuat Mauren kicep seketika. Ia belum melupakan bagaimana sakitnya di jeweran Nenek. Ketika ia dan Nia, tak sengaja menjatuhkan guci kesayangan Nenek.

"Makasih nek, kek. Nia sayang banget sama kalian." Nia memeluk nenek juga kakek dengan erat, memberitahukan rasa sayangnya dengan pelukan eratnya.

Melihat itu, Mia mendengus. Selalu saja dia di abaikan oleh orang-orang dewasa ini, karena tubuhnya yang sangat mungil. Menghentakkan kakinya kesal, tak lupa tangan kecilnya yang menarik-narik ujung kaos Nia.

Nia yang tersadar menunduk. Disuguhkan dengan raut kesal adiknya yang sangat mirip dengannya ketika kecil dulu. Nia terkekeh, lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan adiknya.

"Dek kenapa?" Tanya Fania melihat raut kesal di wajah Famia.

"Kapan sih kuenya di potong, Mia pengen kak," ucap Mia. Mendongak menatap kue yang Masi ada pada Mauren.

"Iyanih, cape aku nih megang kuenya. Lagipun kamu belum niup lilinnya. Aduhh gimana, sih." Mauren mendengus terus menerus. Sembari tangannya yang senantiasa menghalau angin agar lilin tidak akan padam. Fania yang melihatnya hanya bisa terkekeh.

••••••
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa vote and comen, ya. Karena itu sangat berharga untukku.
Semoga kalian suka sama ceritanya.
Ya, ku harap begitu.

Tertanda
gril-04
Call me, Dila.

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang