"Anak pertama plus broken home, asik banget, bro!"
--Fania Syafira••••••••
Fania mendelik sebal karena perkataan Zean yang selalu saja membuatnya darah tinggi. Mengembuskan nafasnya jengah dan mengalihkan perhatian nya kearah lain, mencoba untuk tak menatap lelaki aneh yang sialnya tampan dihadapannya.
"Anjing!" Menatap kaget pada Zean, tidak! Bukan Zean, melainkan belakang tubuh Zean
"Lo ngatain, gue?" Zean melototkan matanya ketika ia merasa cewek aneh dihadapannya mengumpatinya.
"Yang ngatain Lo siapa anjrit!"
"Buktinya Lo ngatain gue, anjing!" Zean kesal tak tertahan. Namun, disaat ia ingin memberikan kata-kata mutiara-nya, terdengar suara grasak-grusuk dari arah belakang dia berdiri.
"Lo, liat belakang sekarang!" Titah Fania dengan senyum misterius.
"A-anjing, kabur anjing!" sepertinya, Zean melupakan jikalau ia membawa mobil-nya yang terparkir dengan apik dihadapan mereka.
Zean lari terbirit-birit meninggalkan Fania yang tersentak kaget. Terdiam sejenak, berusaha mencerna yang baru saja terjadi. Ketika seekor anjing itu mendekat dengan giginya yang bergemelutuk, ia seketika tersadar dan ikut menyusul Zean yang sudah ngos-ngosan di ujung jembatan.
Dengan tangan yang bertumpu dikedua lutut. Tak luput dengan nafas tak beraturan mereka. Seketika mereka tawa mengudara. Menertawakan kekonyolan mereka.
Sesederhana itu untuk bisa tertawa. Tawa bahagia yang tak memiliki beban sama sekali. Mereka berdua seakan lupa dengan cek-cok mereka tadi. Melupakan bahwa mereka belum saling mengenal satu sama lain, dan disinilah awal dari kisah mereka.
Pertemuan klise, yang akan mengajarkan mereka bagaimana caranya memahami satu sama lain
••••••
Sore ini Fania duduk berdua dengan adiknya Famia, menikmati keindahan sunset yang terlihat indah di depan rumah minimalis nenek-nya. Nenek-nya sekarang membuka usaha kue kecil-kecilan yang kadang di bantu oleh Nia dan Mia.
Setahun yang lalu, kakek-nya menghembuskan nafas terakhirnya, sosok paruh baya yang bukan hanya menjadi kakek untuk Nia dan Mia, melainkan bisa berperan sebagai seorang Ayah.
Berbicara tentang Ayah, Restu- Ayah Fania dan Famia, tiga bulan lalu datang menghampiri mereka, menanyakan kabar mereka, hubungan mereka dan juga ayahnya tidak terjalin buruk namun tidak bisa juga di sebut terjalin lancar.
Hubungan mereka hanya sebatas menanyai kabar saja, selebihnya berbasa-basi. Bukannya tidak ingin atau tidak mau berhubungan dan Ayah mereka, hanya saja itu terasa sangat kaku, bertahun-tahun lamanya tanpa adanya komunikasi, membuat mereka akan mengalami suasana canggung yang teramat sangat jika bertemu.
Begitupun dengan ibunya, sekarang ibunya sudah mempunyai dua orang anak dari laki-laki yang dulunya pergi bersama ibunya, anak lelaki dan perempuan yang sekarang berumur 5 tahun, mereka adalah anak kembar.
"Kamu pernah punya keinginan buat ibu sama ayah balik lagi gak?," tanya Nia ketika mereka terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing.
"Di bilang mau, mau banget kak. siapa sih yang gak mau punya orang tua lengkap? Tapi mau gimana lagi? Semua-nya sulit," Mia menjawab dengan nada sedih yang tak bisa ia sembunyikan. Membuat Nia yang melihat-nya hanya bisa mengusap punggung sempit Mia menenangkan.
"Seandainya kalau emang dikasih kesempatan untuk skarang sama yang diatas, buat kita nyatuin ibu sama ayah, apa kamu mau?"
"Gak!" Mia menggelang menyambar cepat. Tak lupa gelengan tak setujunya membuat Nia menyengrit melihat nya.
"Loh, kenapa kamu gak mau?" tanya Nia bingung seusai menegakkan tubuhnya.
"Walupun aku gak sedarah sama anak mamah sama suaminya itu. Tapi aku gak mau kak, mereka ngerasain apa yang kita rasain selama ini. Biar kita aja yang ngerasain, mereka jangan," tutur Mia. Nia mengangguk setuju dengan penuturan adiknya, sedikit salut dengan pemikiran adiknya yang bisa berfikir seperti itu.
Padahal, bisa dikatakan perlakuan ayah tiri mereka tidak terlalu baik pada dirinya juga Mia. Tinggal dengan mereka selama satu bulan lamanya, sudah bisa membuat mereka merasakan bagaimana sosok suami dari ibunya itu.
Selalu membedakan antara anaknya juga mereka berdua. Melontarkan kata-kata yang kurang enak di telinga, dan masih banyak lagi.
"Yaudah, kalau gitu. Yuk kita bantuin nenek, malah jadi melow gini deh," ucap Nia mencoba menghibur adiknya. Mia pun mengangguk dan dengan semangat berdiri dari duduknya dan berjalan kearah dapur untuk menemui neneknya.
"Nenek!" mereka berdiri disisi kanan-kiri neneknya. Memperhatikan neneknya, yang dengan lincah mengadon adonan kue pesanan dari customer.
"Ini pesanan dimana lagi, nek?" Fania menaikkan sebelah alisnya.
Mendengar pertanyaan cucunya, ia pun memberitahukan alamat-nya dan meminta tolong cucu-nya itu untuk mengantarkan pesanan customer-nya.
••••••••
Menggoes sepedanya dengan pelan. Nia menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah cantik-nya. Mengayunkan kepalanya ke kanan-kiri, tak lupa nyanyian syahdunya.
Sesekali melirik kertas yang tertera alamat customer nenek. Ia pun, menoleh ke kanan-kiri memastikan rumah yang di tuju-nya tak terlewat. Akhirnya setelah beberapa menit usaha, kini ia berhenti di depan gerbang rumah dua tingkat dengan desain modern.
Mengecek kembali alamat yang tertera agar tidak salah. ia pun memantapkan dirinya dan berjalan kearah gerbang dengan mendorong sepedanya.
"Assalamualaikum, Pak!" Dengan sopan, Nia memberi salam ketika melihat seorang satpam yang sedang tertidur dengan bertumpu pada kedua lengannya yang terletak diatas meja.
"Eh, ayam!" Latah satpam tersebut.
"Wa'alaikum salam, Neng." lanjutnya dengan cengiran kuda.
Fania terkekeh kecil dan meminta maaf. setelah menyampaikan kedatangannya kemari pada satpam tersebut, ia pun di perbolehkan untuk masuk.
Sekarang, ia sudah berdiri di depan pintu yang menjulang tinggi dihadapan-nya, sedikit mengintip pada jendela yang sedikit memperlihatkan seisi rumah itu.
Kaya banget-batin-nya
••••
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote and comen kalian sangat berharga untukku.
Semoga like sama ceritanya.
Yaa... Ku harap begitu.Tertanda
gril_04
Call me, Dila.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
Fiksi Umum"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...