35. TERAKHIR KALINYA

49 23 0
                                    

Pada akhirnya, apa yang tengah ku sembunyikan, akan berakhir dengan ucapan selamat tinggal.
-Famia Syazira

HAPPY READING GUYS.
PART INI MENGUNDUNG BAWANG.
tandai typo ya, teman-teman.
••••••

Matahari bahkan belum menampakkan dirinya, tetapi di salah-satu rumah minimalis bercorak kuning putih itu, para penghuni rumah sudah bangun lebih awal. Melihat jam yang tertempel di dinding masih menunjukkan pukul 04:25.

Fania tengah berkutat dengan alat masak di tangannya. Memasak nasi goreng sederhana untuk adiknya yang tengah duduk di kursi meja makan sembari memperhatikan kesibukan Fania.

Famia tersenyum pedih, mengingat penyakit yang di deritanya. Karena dirinya, Fania harus mengorbankan sekolahnya. Begitupun dengan dirinya, Fania memaksa dirinya untuk tetap sekolah. Tetapi, karena keadaan, membuat ia tak bisa melanjutkan sekolahnya.

Famia mengalihkan perhatiannya pada Nenek, duduk diam di depan ia duduk dengan pikiran melayang. Ia tahu, neneknya tengah di tagi hutang perihal biaya rumah sakitnya tempo hari. Neneknya tak bisa membayar cepat, akibat semakin hari pesanan kue juga semakin sedikit.

Nenek mengurut bahunya dengan ringisan kecil, ia tengah memenjamkan matanya. Setetes air mata, jatuh dari pelupuk mata Famia. Ia tak ingin seperti ini, ia ingin bisa membantu nenek dan juga kakaknya seperti dulu. Tetapi karena penyakit sialan yang tengah di deritanya, ia mengorbankan dan menyusahkan orang lain.

Fania menoleh kebelakang, hendak mengambil piring untuk ia hidangkan kepada Famia dan nenek. Ia terpengarah ketika melihat Fania mengusap air matanya kasar. Tersenyum pedih, ia berjalan ke arah Famia yang belum menyadari kehadiran nya.

Memegang kedua pundak rapuh Famia, pun ia mengusapnya dengan ibu jari, mencoba menguatkan. Famia lantas mendongak, ia cepat-cepat merubah mimik wajahnya, dan tersenyum kecil. Fania menggelang, lalu mendudukkan dirinya di sebelah Famia.

"Dek, kalau kamu mikir kamu nyusahin kakak, sama nenek. Kamu salah, kita sama sekali gak ngerasa di susahin. Kamu gak boleh mikir yang enggak-enggak. Lebih baik, kamu makan biar kuat dan bisa sembuh."

"Aku capek, kak. Setiap hari hidup aku di penuhi sama minum obat, istirahat dan itu-itu terus tiap harinya. Aku gak mau ngeluh, tapi aku gak sanggup, ini terlalu berat buat aku. Apalagi ngeliat kakak sama nenek, yang rela banting tulang demi nyawa gak seberapa aku." Tetes air mata jatuh tanpa ia minta. Pandangan kosong yang Fania lihat dari Famia, membuat ia bisa merasakan, kepedihan di dalam hati adiknya.

"Kamu ngomong apa, sih? Aku sama Nenek rela banting tulang cuman buat kamu, biar kamu bisa kaya dulu, Famia! Kamu bisa gak, ngehargain pengorbanan kita buat kamu? Kamu ngomong seakan nyawa bisa di beli di pasar." Fania menatap marah pada Famia.

Nenek terusik dengan perdebatan mereka, ia mengerjab-ngerjabkan matanya, dan di suguhkan dengan kedua cucunya. "Kenapa, sih?" Tanya nenek dengan suara kecil.

"Gak papa, Nek. Aku kesel aja sama Famia." Jawab Fania.

Lantas ia berjalan dan mengambil piring lalu menuangkan nasi goreng dan di hidangkan di meja makan. "Mending makan sekarang, dari pada makin ngaco!" Ujar Fania.

Meletakkan piring nasi goreng di hadapan Fania yang menatapnya bersalah. Seandainya mereka mengetahui apa yang tengah ia rasakan, ia hanya tak ingin mereka rela berjuang demi ia yang sudah tak punya kesempatan untuk bisa berkumpul seperti sekarang dengan Nenek dan Fania.

Mereka makan dengan tenang, Famia mencoba memaksa mengunyah makanannya. Ia sama sekali tak mempunyai nafsu makan, kepalanya juga semakin sakit. Tetapi, ia mencoba mengalihkan rasa sakitnya.

"Kak, Nek," ujar Fania di tengah dentingan sendok. Fania yang tengah mengunyah makanan nya, hanya mendongak dan melanjutkan kunyahannya. Sementara Nenek, ia langsung menatap bertanya pada Famia.

"Kenapa, Nak? Ada yang sakit?" tanya nenek, yang di balas dengan gelengan ribut oleh Famia.

Ia meletakkan sendoknya dan menatap serius pada Nenek dan Fania yang seperti nya enggan untuk menoleh kearahnya. Ia tersenyum pedih, ia tahu, Fania marah dengan ucapannya.

"Aku minta maaf kalau aku punya salah, kecil atau besar, aku minta maaf." Ujar Famia. Fania mendongak dengan mulut yang berhenti mengunyah, menatap bertanya pada Famia.

"Maksudnya?" Tanya Fania menuntut.

Famia mengukir senyum di wajahnya. "Aku minta maaf, kak. Selama ini, aku hanya bisa nyusahin kakak, selalu bikin kakak kesel, dan selalu jahilin, kakak. Aku minta maaf. Habis ini, aku gak bakal nyusahin kakak lagi, kok." Famia menunduk kan kepalanya.

Fania meradang, apa maksud dari perkataan adiknya. Kenapa ia seakan-akan menyampaikan maaf untuk terakhir kalinya. Fania merasakan sakit di hatinya. "Kamu ngomong apa, sih!" Ucap Fania dengan intonasi keras.

"KAKAK BISA DIEM GAK, SIH!" Famia cukup kesal dengan Fania. Bisa sekali saja berikan waktu untuk ia berbicara. Kenapa seakan kakaknya tak bisa menghargai dirinya.

Fania tertegun, ia bungkam dengan penuturan adiknya. Untuk pertama kalinya Famia mengeraskan suaranya di depan Fania. Selama ini, yang ia tahu, Famia tak pernah berani untuk berucap keras padanya, apalagi membentak nya.

"Kalau seandainya aku bisa milih, aku gak mau kaya gini. Ngerasain sakit tiap hari, nangis sendirian akibat kepala yang serasa mau pecah. Aku tau, kak. Kakak pengen banget buat kuliah, tapi karna aku, semua impian kakak cuman jadi angan. Makanya itu, aku mau akhirin semua ini." Tutur Famia denga linangan air mata.

"Apa maksud kamu, hah?" Fania mendesis dengan pandangan tajam menyorot pada Famia. Nenek duduk menunduk dengan tetes air mata.

"Kalau malam ini aku udah gak bisa sanggup sama penyakit yang lagi aku derita, kakak besok tinggal nyiapin diri aja. Liat aku udah kebujur kaku sama linangan darah." Nenek mengadah mendengar penuturan Famia. Ingin membuka suara, namun serasa ada yang menjanggal di tenggorokan, ia tercekat.

Fania melangkah gesit, memegang kedua pundak Famia yang menunduk pedih di hadapannya. "Oh, jadi maksud kamu, kamu mau bunuh diri? Sekali aja Famia, kamu hargain aku sama nenek yang lagi usaha buat kamu, kamu gak bisa bertahan demi kita?" Fania mengguncanh bahu adiknya menuntut jawaban.

"PERCUMA, KAK! Itu percuma," balas Famia dengan nada lirih di akhir kalimat.

"Kamu pikir kamu tuhan yang bisa nentuin kapan umatnya mati, jangan pesimis, Famia. Kakak yakin kamu pasti sembuh!" Tekan Fania dengan desisan tajam.

Famia mendongak lalu menyentak tangan Fania. "Gak ada harapan lagi, hidup aku udah gak guna. Permintaan aku cuman satu, dan ini untuk terakhir kalinya. Tolong, pertemuin aku sama ayah, ibu. Itu doang, gak ada yang lain," tutur Famia.

"Kamu ngomong apa sih, Nak? Kamu pasti bisa sembuh, kok. Berjuang sama jangan lupa doa sama tuhan," ucap Nenek.

Famia menggelang sebagai jawaban. "Percuma, Nek. Kemarin, pas aku pergi ke dokter buat konsultasi tentang penyakit aku. Dokter bilang..."

"Apa! Dokter bilang apa, kamu bisa sembuh, kan?" Sebelum Fania selesai berbicara, ucapannya langsung di sambar oleh Fania.

Famia menghela nafas dan kembali menggeleng. "Dokter bilang penyakit aku udah menyebar, udah masuk stadium terakhir, hidup aku udah gak lama lagi ..." Lirih Famia.

Nenek tertegun tak percaya. Bualan macam apa yang tengah cucunya sampaikan padanya, kenapa cucunya bisa berfikir seperti itu. "Famia ... " Lirihnya.

"Dokter bilang, sisa hidup aku hanya kisaran, 3 Minggu sampai 4 minggu. Setelah itu, kalian juga pasti tau. Tolong, pertemuin aku sama ayah dan ibu." Ujar Famia dan melenggang pergi menuju kamarnya.

Fania menangis terisak dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tak sanggup hanya untuk menopang tubuhnya, kakinya seperti jely ketika ia bawa berdiri. Berlari pedih memasuki kamar dan menghempaskan pintu kamarnya. Ia bersandar di pintu kamarnya lalu merosotkan tubuhnya kelantai.

"Apa lagi, tuhan?..." Lirihnya

•••••
Terimakasih.
Jangan lupa vote and comen.
See you, guyss!!

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang