Setelah selesai membersihkan kamar Zean. Fania terduduk diam di bibir kasur king size berseprai kotak-kotak hitam itu. Ada banyak hal yang tengah ia fikirkan. Sebelum celetukkan seseorang membuat ia kembali sadar.
"Ngelamun mulu, Lo!" Fania seketika berdecak ketika melihat siapa yang dengan berani mengganggu nya.
"Wehhh, santai njing!" Zio mengangkat satu tangannya.
Fania memberikan tatapan permusuhan padanya. "Apa Lo! Gue lagi males ya, njing. Mending Lo pergi ke habitat Lo sana!" Fania melambaikan tangannya, berusaha untuk mengusir.
Zio melirik sinis padanya. "Heh, Lo sape, neng? Ini rumah gue kalo Lo lupa." Fania merotasikan matanya malas.
"Bodo amat." Ia berjalan ke arah pintu, dan memungut bantal guling yang tadi ia lemparkan pada Zio.
Zio dengan jahil, menendang kembali bantal itu, membuat bantal tak berdosa itu tehempas beberapa langkah darinya.
Fania mendongak, menatap garang pada Zio yang santai saja, seolah tak melakukan apa-apa.Dengan brutal, ia memukul-mukul Zio dengan bantal guling Zean, seusai ia memungutnya setelah terhempas cukup jauh. Zio mengaduh sembil berusaha untuk membuat Fania berhenti. Tetapi karena sangking kesalnya Fania padanya. Ia tetap pada posisi nya. Memukul Zio dengan brutal.
Seseorang menahan kedua tangannya dari belakang. Membuat ia berhenti dan melepaskan bantal guling itu dan terjatuh ke lantai. Fania memberontak tak terima, ia sangat kesal sekarang.
"Udah woi, malah berantem Lo bedua, ya!" Zean berkacak pinggang seperti seorang ibu yang tengah memarahi anak-anaknya.
Menatap garang pada kedua remaja yang tengah menatap sinis satu sama lain. Ia lagi-lagi berdecak. Menendang bokong Zio dan menyuruhnya keluar, setelah beradu cek-cok sebentar.
Fania menatap dirinya mengadu. Ia dengan paham, merentangkan tangannya dan di sambut dengan terjangan Fania. Memeluk dirinya erat, dan membisikkan makian untuk Zio. Ia hanya sesekali terkekeh ketika Fania meremas bajunya melampiaskan kekesalannya.
"Iyaa, nanti gue mutilasi itu anak. Lo tenang aja, ya?" Zean mengelus punggung Fania untuk menenangkan nya. Setahunya, Fania adalah sesosok manusia menyebalkan. Selalu membuatnya kesal dan suka mencari masalah dengannya.
Tapi semakin mereka dekat, Fania menunjukkan sisi lainnya. Ia sering bersikap manja pada Zean. Selalu mengadu dan menceritakan harinya, ketika di ganggu oleh Zio. Ia selalu dengan terbuka menyambut kedatangan Fania kepadanya. Selain karena ia menyukai gadis itu, ia juga mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Begitulah korban keegoisan orang tua. Tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Membuat Fania menjadi sangat terbuka ketika bertemu dengan lawan jenisnya. Menganggap mereka rumah, padahal belum tentu. Orang itu pantas untuknya.
••••••••
Matahari bahkan belum menampakkan dirinya. Tetapi Fania sudah bangun dengan semangat empat lima. Ia sangat bersemangat pagi ini, memulai hari dengan senyum merekah yang tak pudar sedari tadi. Ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan Zean. Tanpa Zean, mungkin sekarang, ia lontang-lantung di jalanan untuk mencari pekerjaan.
"Ada gunanya juga si Zean." Fania bermonolog. Terkekeh karena perkataan nya sendiri.
Dering telepon membuat ia berhenti dari acara beras-beras tempat tidur. Ia seketika menyengrit dan berjalan menuju meja belajar. Tersenyum sangat lebar ketika melihat nama 'Zean asu' tepampang begitu nyata.
Ia tersenyum sebelum mengangkat telepon dari lelaki yang membuatnya tersenyum sedari tadi.
•••••••
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...