HAPPY READING
•••••••
Setelah mengetuk pintu bercat putih itu, Fania tak sama sekali mendapatkan respon dari pemilik kamar. Dengan sangat pelan ia membuka pintu yang ternyata tak di kunci tersebut.
Pandangan nya langsung tertuju pada tempat tidur yang terdapat Famia yang tertidur dengan damai. Hari ini Fania tak mengizinkan adiknya pergi kesekolah, karena keadaan nya yang tak baik-baik saja. Pagi tadi, Famia meringis ngilu karena kepalanya yang sangat sakit. Fania sudah mengusulkan untuk pergi ke rumah sakit, hanya saja Famia melarangnya karena ia harus pergi ke sekolah. Padahal masa istirahat nya belum juga berakhir.
Fania mengusap dahi adiknya sayang, membuat sang empu mengeliat dari tidurnya, mengerjakan matanya berat, ia pun bergumam memanggil Fania.
"K-kak," kata Famia sedikit serak.
Fania hanya tersenyum menanggapi panggilan adiknya, pun mendudukan dirinya di samping tempat tidur Famia.
"Kamu udah gak sakit kepala sama mual-mual, kan?"tanya Fania.
"Udah enggak, kak." Famia tersenyum menatap Fania.
"Minggu depan kakak ujian buat kelulusan. Insyaallah kalau kakak lulus kakak bakal cari kerja buat biaya operasi kamu." Fania menggenggam tangan hangat adiknya dengan kedua tangannya, ia akan berusaha semampunya untuk mencari biaya demi kesembuhan adiknya, pekerjaan apapun akan ia lakukan asalkan itu masih masuk di akalnya.
"Kak, kakak jangan capek-capek ya, aku sayang kakak. Semisalnya aku pergi ... Kakak jangan sedih ya." Fania menundukkan kepalanya dalam, ia menahan isakannya.
"Kamu jangan pesimis gitu, Mia! Kakak yakin kamu bisa sembuh," ucap Fania penuh penekanan. Ia meremas kedua tangan adiknya.
"Maaf, kak. Aku cuman gak mau kakak terbebani gara-gara penyakit aku, sampai-sampai kakak harus kerja banting tulang demi aku." Famia mendongak menatap mata Fania yang menatap dirinya sendu.
"Apa pernah kakak bilang keberatan, ha? Gak dek, kakak aja belum kerja, kamu udah ngomong kayak gitu." Fania mendengus. Ia saja belum bekerja, kenapa adiknya sudah seperti itu.
"Aku tau kak, kakak pengen banget kuliah. Hanya karena aku kakak gak bisa gapai cita-cita kakak nanti," balas Famia. Ia menatap kakaknya serius.
Fania terdiam dengan pernyataan Famia, yang ia katakan benar, sangat benar. Sedari dulu Fania berniat untuk kuliah, ia ingin menggapai cita-citanya. Namun, keadaan membuat ia mengurungkan Niatnya. Banyak yang membuat ia mengurungkan niatnya, dari segi ekonomi dan juga keadaan adiknya.
"Kakak gak papa kok, kamu sembuh dulu. Itu udah buat kakak senang kok. Sekarang cita-cita kakak hanya mau buat kamu sembuh," Ujar Fania. Famia tersenyum ketika mendengar perkataan Fania.
"Makasih kak, aku sayang kakak." Famia memeluk kakaknya sayang, ia sangat bersyukur mempunyai kakak seperti Fania.
•••••
Setelah memarkirkan mobilnya di bagasi, ia berjalan keluar dengan bersiul. Hari ini ia begitu senang, entah gerangan apa yang membuatnya tersenyum seperti mendapatkan give away. Maybe, karena ia bertemu dengan Fania? Ia pun tak tahu. Yang intinya ia senang hari ini.
"Dih, nape Lo?" Zio melirik ngeri pada Zean yang sedari tadi senyum-senyum.
Melirik sinis, Zean bukannya menanggapi perkataan Zio, ia malah melengos pergi dan menghempaskan tubuhnya pada sofa ruang tamu.
"Aneh ini orang." Zio duduk pada single sofa dan mengambil remot tv.
"Lo tau, Yo. Gue seneng banget hari ini." Zean sedikit memekik dan merentangkan kedua tangannya senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...