Aku tahu kau tak pernah merasa terbebani. Aku hanya sadar diri, karena tak semua orang, berfikir seperti dirimu.
-Fania SyafiraSelamat membaca...
••••••Ia menghembuskan nafasnya, bersyukur. Karena bisa mengerjakan semua soal dengan lancar tak terhambat apa-apa. Sedikit kesal dengan Mauren karena merecoki dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya memijit pelipis nya, pusing.
Kini ia hanya berdiam diri di dalam kelas, Mauren sudah pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta jatah. Mauren sudah mengajaknya, tetapi ia menolaknya. Bukannya ia tak lapar, hanya saja ia sadar diri jikalau ia tak membawa uang sepeser pun.
Ia beralasan kepada Mauren jika ia sudah sarapan tadi pagi, dan Mauren mempercayai begitu saja. Tadi pagi ia memang memasak, namun tak sempat untuk sarapan karena buru-buru pergi kerumah sakit mengantarkan makanan neneknya.
Ia tak ingin terus bergantung pada Mauren, selama ini Mauren selalu membantunya dan selalu memberi. Kali ini, ia tak ingin terus menerus meminta pada Mauren, ia harus berusaha.
Mengusap perutnya yang sedari tadi keroncongan, ia menelungkup kan kedua tangannya dan meletakkan kepalanya, lebih baik ia tidur agar tak merasa kelaparan.
Matanya terpejam berusaha untuk tertidur sebelum dering telepon menghentikan nya. Ia menggeser icon menerima, itu telepon dari neneknya.
•••••••
"Hallo, nek." Dari seberang sana, terdengar hembusan nafas neneknya.
"Kamu masih di sekolah, nak?"tanya nenek. Fania yang mendengar nya reflek menganggukkan kepalanya.
"Iya, nek. Kenapa?" Fania menyengrit.
"Nanti kalau udah pulang, cepet ke rumah sakit, yah," pinta nya
"Iya, nek. Fania bakal kesana kok. Emangnya kenapa? Mia baik-baik aja, kan?"
"Mia, baik-baik aja kok. Kamu udah makan?" tanya nenek.
"Aku udah makan, kok tadi," ucapnya berusaha biasa saja, padahal perutnya sudah minta untuk di isi.
"Bagus kalau gitu. Kamu, semangat ngerjain ujiannya, nenek tutup dulu telepon nya."
•••••••••
Setelah panggilan berakhir, Famia mengembuskan nafasnya, berusaha menahan air matanya. Tak tahu kenapa, ia merasa sedih. Sedih atas hidupnya, ia seperti tak mempunyai orang tua. Sampai kapan ia akan terus seperti ini.
"Gue laper, anj." Mengumpat dengan nada lirih, ia menunduk menyembunyikan wajahnya, ketika melihat Muaren yang tengah berjalan menuju dirinya.
"Nih, gue bawain Lo roti," ujar Mauren.
Fania mendongak, lalu menurunkan pandangan nya pada sebungkus roti dan segelas air seribuan yang berada pada atas mejanya. Ia tersenyum melihatnya, kemudian kembali mendongak dan nyengir kuda pada Muaren.
"Gak usah repot-repot, ah." Ujar nya terkekeh, tak ayal tanganya sudah sibuk membuka bungkus roti tersebut, Mauren yang melihatnya mendengus lirih.
"Sok-sokan, Lo." Mauren menoyor kepala Fania den mendudukan dirinya pada tempat duduk nya.
Inilah yang kadang membuat Mauren kesal pada Fania. Ia tak begitu terbuka pada Mauren ketika mereka beranjak dewasa. Fania selalu menyembunyikan yang terjadi kepadanya, seperti membatasi mereka. Mauren tahu jika Fania belum makan dan tak membawa uang saku, ia ke kantin bukan untuk makan, melainkan untuk membeli kan Mauren makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...