Gue suka, tapi gue gak suka.
-Zeandra VernandoSelamat membaca...
••••••••••
Memijit pelipisnya, ia meraung kesal. Sudah sedari tadi hanya itu yang ia lakukan. Perkataan ibunya selalu terngiang di kepala. Perkataan yang sama sekali tak ingin ia dengar. Ingin mengulang kejadian itu dan menutup telinga nya agar perkataan itu tak sampai pada indra pendengar nya.
Tadi, sepulang ibunya dari rumah mereka, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kecil miliknya. Berbaring sebentar, tanpa ia sadari ia tertidur sangking lelahnya. Terbangun dari tidurnya, ia melamun dan memikirkan kata-kata ibunya, sore tadi.
Ia menangis, menangisi hal yang sama berulang kali. Ia marah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Air matanya terus meluruh membasahi buku tulis yang terletak di atas meja sebagai tumpuan nya. Seakan dunia nya hancur hanya karena kata-kata itu. Penyesalan!
Penyesalan ibunya. Tetes demi tetes terus berjatuhan, seakan mewakili isi hatinya bahwa sekarang ia tengah bersedih. Di luar jendelanya rerintikan hujan terdengar berjatuhan menemani Isak tangisnya. Pikirannya melanglang buana ketika mengingat adiknya yang sedang berbaring kaku di ranjang pasien.
Menghapus air mata dengan punggung tangannya. Menarik nafas dan menghembuskan nya dengan kasar. Bertopang dagu dan melamun. Banyak sekali yang tengah bersarang di kepalanya. Padahal rencananya ia akan belajar malam ini. Tetapi berujung menangis seorang diri.
"Brengsek!" Berdiri dengan kasar, ia menghantam meja kecil di depannya dengan kepalan tangan kecilnya.
"Sialan!"
Melangkah kan tungkai kakinya keluar dari kamar sempit miliknya. Ia berdiri di depan pintu rumahnya. Air hujan terus berjatuhan mengguyur daratan, tak lupa angin yang berhembus membuat bulu kuduk Fania berdiri. Ia menutup pintu rumahnya dan berjalan menuju kembali ke kamar untuk mengambil hoodie hitam polosnya.
Perutnya keroncongan, sedari pagi ia hanya makan roti yang di berikan Mauren di sekolah. Sekarang sudah tengah malam, sekitar jam 23:40. Mengusap perutnya, ia sedikit berfikir apa yang bisa ia makan.
Persediaan dapur sudah tak ada, beraspun bisa di hitung butiran nya. Mencari mie atau telur juga tak ada, sesusah itu memang mereka. Fania sudah biasa dengan keadaan yang seperti ini. Sehari tak makan bukan masalah untuknya, yang penting mengganjal perutnya dengan minum air.
Menghembuskan nafasnya, ia berjalan menuju ruang tengah dengan kedua tangan yang di masukkan di dalam kantung hoodienya mencari kehangatan. Cuaca hari ini sungguh membuatnya lapar dan kedinginan.
Mengambil handphone nya yang terletak di atas meja bundar kecil di ruang tamu sempit itu, ia berusaha menelfon Neneknya, menanyakan keadaan adiknya.
Sudah tiga panggilan tak terjawab, mungkin Neneknya sudah tidur. Tak Ingin mengganggu, ia pun melangkah kan kakinya menuju kamar untuk tidur.
Mengalihkan rasa laparnya, lebih baik ia menyelami alam mimpi nya. Walupun sejujurnya, ia belum mengantuk.•••••
Menyusuri jalanan menuju rumah sakit. Fania berniat untuk bersinggah dahulu sebelum ia berangkat ke sekolah. Berhubung sepedanya belum ada, ia berjalan kaki pagi ini, hitung-hitung olahraga.
Sepedanya tak ada kabar sama sekali dari seseorang yang berjanji memperbaiki nya. Membahas soal sepeda, ia jadi teringat dengan Zean. Lelaki emosian yang sialnya tampan itu.
Fania sedikit aneh dengan perlakuan Zean kemarin. Jika di pikir-pikir, ia lumayan baik, walaupun kadang mengesalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
Ficção Geral"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...