Bukannya kehadiranmu tak berarti.
Kehadiran mu berharga untukku, tapi sekarang tak lagi. Aku sudah tak mengharapkan mu.
-Fania SyafiraSelamat membaca....
••••••Fania berjalan kaki untuk menuju rumah sakit sepulang dari sekolah. Tak berniat sama sekali untuk pulang kerumah dan mengganti bajunya terlebih dahulu. Lebih baik ia pergi ke rumah sakit terlebih dahulu untuk menjenguk adiknya seperti perkataan neneknya via telepon tadi.
Ia berjalan dengan sedikit meringis karena lututnya yang sedikit perih ketika berjalan. Merutuki diri sendiri karena membawa sepeda dengan ugal-ugalan. Tetapi ini juga bukan sepenuhnya salahnya, salahkan Zean saja.Tadi di saat ia masih berada di parkiran sekolah, Mauren sudah menawarkan dirinya tumpangan, tetapi ia menolak dan beralibi jika ia membawa sepedanya. Mauren hanya mengangguk dan melajukan mobilnya setelah melambai pada Fania. Mauren memang belum mengetahui jikalau Famia tengah di rawat di rumah sakit. Begitupun dengan penyakit yang sedang di derita oleh Famia. Ia tak ingin memberitahu kan masalah itu pada Mauren.
Kakinya sudah sangat pegal sekarang. Kini ia sudah berada di halaman rumah sakit, berjalan di koridor rumah sakit sambil meneliti tempat itu. Ia sedikit lupa-lupa ingat di mana ruang rawat adiknya.
Setelah beberapa menit berjalan, ia sudah sampai pada ruang inap adiknya. Mengetok pintu, tetapi tak mendapatkan respon. Pun ia membuka pintu nya lalu berjalan masuk.
Fania tersenyum melihat adiknya yang kini terlelap dengan nyaman, wajahnya pucat, berat badannya juga mulai menurun. Akhir-akhir ini adiknya hilang nafsu makan. Itu yang membuat Fania khawatir, adiknya bisa tak makan dalam sehari.
Di sebelah ranjang adiknya, neneknya juga ikut tertidur dengan kepalanya terletak pada ranjang Famia.
Fania meneteskan air matanya melihat neneknya. Bagaimana jadinya hidupnya jika nenek nya tak ada bersama mereka. Bagaimana jikalau neneknya meninggal kan mereka, apa yang akan terjadi. Apa mereka akan menjadi gelandangan. Fania berusaha menepis jauh-jauh pikirannya itu.
Nenek menggeliat ketika merasakan ada yang mengusap bahunya, ia mendongak dan di suguhkan dengan wajah cucu nya yang kini memamerkan senyum cantiknya.
"Nek, nenek lebih baik pulang aja dulu. Biar Fania yang jaga, Mia," Ujar Fania. Nenek seketika menggelang, ia tak ingin meninggalkan Famia.
"Nek! Nanti nenek sakit kalau kaya gini, makanan yang Nia bawain juga kenapa nenek gak makan?" Memang benar, makanan buatan Fania tak tersentuh sama sekali di atas meja, masih sama persis ketika Fania meninggalkan rantang makanan itu disana.
"Nenek gak nafsu makan, nak," ucap Nenek. Ia mendudukan dirinya dengan tegak menatap cucunya memberi penjelasan.
"Tapi, nek-"ucapan Fania terpotong karena langsung di sambar oleh Nenek.
"Kamu aja yang makan, nenek tadi udah nyicipin, kok," ujar nenek. Fania menggeleng ka kepalanya.
"Gak usah, nek. Fania udah makan tadi di kantin bareng sama Mauren." Fania menyandarkan dirinya di ranjang adiknya.
Fania barbohong, ia tahu pasti neneknya mengkhawatirkan dirinya. Fania sudah sangat hapal dengan sifat neneknya. Lebih baik ia tak makan daripada kedua cucunya yang kelaparan. Sekarang terbalik, biarlah ia yang tak makan asalkan bukan Neneknya. Ia tak ingin neneknya kenapa-kenapa.
Nenek menghembuskan nafasnya dan mengangguk. Tak akan ada habisnya jika ia berdebat dengan Fania, karena pasti ia akan selalu keras kepala.
"Nek, tadi Famia udah gak ngeluh sakit kepala lagi, kan?" Fania mengusap surai adiknya. Menetap sendu wajah yang dulunya ceria kini sangat teramat pucat. Tak ada lagi tampang tak berdosa yang sering terpantri di wajah adiknya. Kini, hanya wajah pucat dan tak bergairah sama sekali.
Tatapan Fania menyendu, apakah kedua orang tuanya tak pernah sama sekali berkeinginan untuk sekali saja menjenguk Famia. Apalagi dengan ibunya, ia hanya sibuk dengan kehidupan nya dan membahagiakan suami tercintanya itu. Tak berbeda jauh dengan ayahnya. Mereka sama saja, tak ada bedanya.
"Nek, penyakit Famia pasti sembuh, kan?" Nenek mengadah pada Fania, ia tengah melahap makanan nya.
"Kenapa kamu nanya kaya gitu? Udah pasti cucu nenek bakalan sembuh, cucu nenek kuat!" Nenek berucap menggebu-gebu.
Fania terkekeh pelan, ia merenggangkan otot-otot tubuhnya. Ia sangat letih hari ini, apalagi di tambah dengan luka di lututnya yang terasa perih. Ia sengaja menyembunyikan luka itu dari Mauren dan neneknya, karena tak ingin membuat mereka khawatir dam mempertanyakan apa yang terjadi, Fania sangat malas untuk menjelaskan.
Mendesah enak ketika bunyi tulangnya terdengar. Nenek menatap dirinya, lalu memberikan ia uang selembar berwarna biru di hadapannya.
"Buat apa, nek?" Fania menyengrit, menatap aneh pada selembar uang yang di tujukan untuk dirinya.
"Beras udah habis, kan dirumah. Uang ini kamu pake aja buat beli bahan masakan," ujar Nenek. Fania tersenyum dan mendorong sodora uang tersebut.
"Gak usah, Nek. Sisah beras kemarin masih ada, kok." Fania merangkul kembali tasnya yang ia hempaskan begitu saja di atas lantai.
"Cukup memangnya?" Tanya nenek.
"Cukup, nek. Nenek tenang aja." Fania mengedipkan sebelah matanya.
"Nenek beneran gak mau pulang? Biar aku aja Nek yang jagain Famia," tutur Fania. Ia ingin neneknya beristirahat malam ini.
"Gak papa, kamu aja yang pulang. Besok masih ujian, kan? Yaudah, mending kamu yang pulang dan jangan lupa buat belajar." Fania menanggapi dengan senyum perkataan Neneknya.
"Yaudah, nek. Aku pulang. Kalau Famia udah bangun, bilangin aku dateng dan cepat sembuh, biar nanti kita bisa main lemparan boneka lagi kaya dulu," ucap Fania. Nenek memeluknya dan meneteskan air matanya. Tak pernah terbayangkan oleh dirinya cucunya akan mendapatkan cobaan sebesar ini. Berbaring di atas ranjang rumah sakit dan merintih kesakitan ketika penyakitnya kambuh.
Ia sering menangis seorang diri, mengeluh pada sang pencipta. Kenapa tak dirinya saja yang di timpahkan penyakit itu, kenapa harus cucunya.
Penderitaan mereka sudah banyak, kenapa tuhan menambah derita mereka lagi. Nenek terisak sambil memeluk Fania yang bergetar menahan Isak tangis.
"Berdoa sama yang si atas, nak. Famia pasti bisa sembuh." Fania mengangguk dan mengusap air matanya kasar. Ia tak boleh menangis, ia harus kuat. Tetapi air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Setelah berpamitan pada Neneknya, kini Fania dalam perjalanan untuk pulang kerumah dan mengistirahatkan dirinya. Sejujurnya ia sudah sangat pusing sedari tadi. Mungkin, ini efek karena ia tak bisa tertidur semalaman.
Setelah berjalan beberapa menit lamanya, ia telah sampai di depan rumah minimalis mereka. Dahinya menyengrit ketika melihat ada sebuah mobil yang terparkir dan juga pintu rumah yang terbuka lebar. Setahunya sebelum ia kesekolah ia menutup dan mengunci rumahnya, tetapi kenapa sekarang terbuka.
Buru-buru ia berjalan dan memasuki rumah, langsung di suguhkan dengan seseorang yang membuatnya menatap datar keberadaan nya.
•••••
Terimakasih sudah membaca.
Jnlup votmen.Tertanda
gril_04
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...