Selamat membaca...
••••••Fania menggerutu ketika lagi-lagi Zean yang berkuasa. Ia tak memperbolehkan Fania menambahkan sambal lagi pada bakso miliknya. Menatap Zean sengit, sementara sang empu hanya acuh dan memakan baksonya dengan santai.
Daripada ia semakin kesal karena melihat wajah Zean yang polos seolah tak berdosa, lebih baik ia memakan makanan nya saja dengan sedikit terpaksa.
Zean sebenarnya tahu, jikalau Fania ingin protes karena nya. Tetapi ia hanya ingin Fania tahu kalau itu hanya bentuk perhatian kecil dari dirinya, kalau ia tak ingin Fania kenapa-kenapa.
Satu hal yang membuatnya seperti ini. Ia tahu ia sudah menaruh rasa pada gadis di sebelahnya ini. Ia mencintainya, mencintai bukan karena wajahnya, sikapnya atau apapun itu. Jika ia di tanya kenapa suka pada Fania, maka jawabannya adalah ia sendiri pun tak tahu. Intinya, ia mencintai gadis itu.
Fania asik dengan makanan nya. Golongan orang munafik karena tadi menolak dalam hati bakso yang ada di hadapannya tersebut. Tetapi sekarang, lihatlah, ia dengan lahap memakan bakso itu sambil kepalanya bergoyang kanan-kiri sebagai ekspresi rasa dari makanan nya.
Zean terkekeh dengan ekspresi Fania. Pun ia mengambil salah satu anak baksonya, mengambil sesuatu dari dalam kantung celana nya. Lalu melubangi anak bakso tersebut dan memasukkan sebuah cincin di dalamnya. Lantas ia pun menaruhnya kembali pada mangkuk baksonya agar tak di curigai oleh sang empu.
Pun, ia menusuk anak bakso itu dengan garpu lalu mengarahkan nya pada Fania. "Bol. Nih, rasain punya gue. Tapi jangan langsung telen, ya? Kunyah dulu." Kata Zean setelah bakso tersebut di lahap oleh Fania.
Fania menurut, mengunyah bakso tersebut dengan pelan. Beberapa detik kemudian, seperti ada yang menjanggal dari bakso tersebut. Ia menatap Zean bertanya yang di balas senyuman oleh sang empu.
Fania pun mengeluarkan benda tersebut, mengapitnya di jari telunjuk dan ibu jarinya lalu mengarahkan di antara wajah nya dan Zean. Ia masih tak mengerti dengan semuanya. Sebelum tiba-tiba ia teringat dengan sebuah video yang sama persis dengan yang tengah ia alami. Otaknya bekerja cepat, lalu berjingkrak senang dan memeluk Zean.
Zean menyambut nya dengan hangat. Senang rasanya ketika melihat Fania tersenyum tanpa beban. Ia tahu, kehidupan Fania tak seperti kehidupan nya. Walaupun itu hanya sebagian yang ia ketahui, tetapi ia tahu, Fania menyimpan banyak beban.
"Ihh, makasih. So sweet banget, sih." Fania terus menerus tersenyum sambil menggoyangkan tubuh mereka ke kanan-kiri.
"Gimana? Senang, kan? Pake, dong." Ujar Zean dan melerai pelukannya. Ia mengambil alih cincin tersebut lalu mengambil sebelah tangan Fania dan menyematkan cincin itu di jari tengah Fania.
"Ih, lucuu." Fania tersenyum gemas, ketika melihat pemberian Zean yang sesuai dengan dirinya. Ia menyukai bintang, dan di atas cincin tersebut di bandul dengan bintang.
"Iyaa, dong. Sama kaya Lo." Ucap Zean dengan mengusap rambut Fania gemas.
Fania mengangguk membenarkan ucapan Zean. "Gue emang lucu, sih." PD nya.
Zean lagi-lagi tersenyum. Sebenarnya, hari ini Zean seharusnya menemani papahnya untuk pergi keluar kota karena profesi nya sebagai sekertaris papahnya. Namun, ia rela menyempatkan datang untuk kelulusan dan merayakan bersama Fania. Beralasan jikalau ia akan membawakan mantu pada papahnya.
Papahnya hanya bisa mengangguk malas mendengar perkataan nya. Paling-paling juga yang di maksud Zean calon mantu pasti Fania. Fania sudah dekat dengan keluarga Zean. Walaupun tak begitu dekat, karena baru beberapa kali bertemu.
Fania di sambut hangat oleh keluarga Zean kecuali Zio yang selalu saja membuatnya darah tinggi. Zio adalah Zean versi yang paling menyebalkan. Jika Zean menyebalkan level 1, maka Zio menyebalkan level 10. Ia selalu saja mencari cela untuk membuat Fania kesal.
Fania mungkin tak se sering itu juga berkunjung ke rumah Zean. Terhitung baru beberapa kali saja. Namun, kedekatan nya dengan kedua orang tua Zean tak perlu untuk di pertanyakan. Apalagi dengan Mira yang selalu semangat menunggu kedatangan nya.
"Yaudah, pulang ya? Udah selesai, kan makannya?" Tanya Zean lembut.
Setelah selesai mengantarkan Fania sampai dengan selamat. Zean pun melajukan mobilnya, meninggalkan Fania yang berdiri di depan pagar sambil melambaikan tangan nya.
•••••••
Pagi ini, Fania berencana untuk pergi ke rumah Mauren dan mengajaknya untuk jalan-jalan di sekitar taman kota. Sudah lama sekali kiranya mereka menghabiskan waktu bersama. Dulu, ketika hari weekend, ia dan Mauren akan berjoging bersama lalu menikmati hari berdua.
Tetapi, semenjak papi, Mauren sudah sering pulang dan berada di rumah. Mauren sudah tak memiliki waktu untuk bermain bersama dirinya. Terkecuali mereka bertemu di sekolah.
Mauren lahir dari keluarga berada. Menjadi anak tunggal kaya raya membuat semua yang ia inginkan akan di adakan. Mauren itu sangat berbeda dari anak orang kaya pada umumnya. Yang bisanya hanya merengek dan menghambur kan uang untuk foya-foya, membeli barang yang tak di perlukan.
Mauren selalu membantu sesama, setiap hari Jum'at, ia akan melakukan Jumat berkah. Biasanya, Fania akan membantunya menyiapkan segalanya. Mauren juga kadang sering berkunjung dengan dirinya ke panti asuhan. Memberi sedikit nominal uang pada pihak panti berharap apa yang di berikan nya berkah.
Itulah yang Fania salut dari Mauren. Mauren adalah gedis baik, penurut dan sangat ikhlas jika memberi. Tak pernah tanggung-tanggung. Tak pernah pun sama sekali Mauren mengungkit apa yang ia bantu pada Fania. Tak heran jika Zio menyukai nya.
Sebelum ia mengetok pintu rumah Mauren. Pintu sudah terbuka dan menampilkan seorang wanita dewasa yang menatap tak minat pada dirinya.
Fania sedikit terhenyak."Ngapain, ya?" Wanita yang kisaran umur 26-an itu menaikkan sebelah alisnya memandang Fania dari atas sampai bawah, membuat sang empu seketika mundur tak nyaman.
"Mauren, ada?" Tanya Fania berusah untuk tetap sopan, biar bagaimana pun wanita di depannya ini adalah keluarga Mauren. Ia adalah adik dari papi, Mauren. Yang kini berprofesi sebagai seorang dokter di salah-satu rumah sakit besar.
"Ngapain tanya Mauren? Dia lagi perawatan bareng mami nya. Biar makin cantik dan gak DEKIL!." Wanita itu menekan kata terakhir nya berusaha menyinggung Fania yang hanya santai, tak merasa sama sekali.
"Oh." Fania hanya ner oh-ria. Membuat wanita itu geram dan mengepal kan tangannya.
"Kamu temennya Mauren itu, kan?" Tanya wanita itu dan mendapat anggukan dari Fania.
Wanita itu tersenyum, lalu menatap Fani remeh. "Kamu mending jauhin Mauren!" Ucapnya. Fania menaikkan sebelah alisnya tak paham.
"Mauren temenan sama kamu selalu aja, uang bulanan habis. Padahal, nominal uang yang papinya kasih, gak setara sama harga diri kamu!" Desis wanita itu.
Fania menggeram, ia lantas mengangkat tangannya untuk menampar mulut tak sopan wanita itu. Sedikit menayangkan sekolah tinggi wanita di hadapannya, tak mengambil ajaran yang baik malah seperti tak punya sekolah.
Sebelum tangannya mendarat pada wajah wanita itu, tangannya langsung di cegat oleh seseorang yang kini menatapnya tak percaya. Orang tersebut pun mengempaskan tangannya dan melayangkan tamparan pada wajah Fania.
Tamparan keras yang mendarat di wajahnya membuat ia menoleh ke kanan. Ia terdiam mencerna lalu mendongak menatap orang yang sudah menamparnya, kini manatap tangannya nanar.
••••••
Terimakasih...
Emosi gak? Emosi anj. Walupun saya yang ngetik, tapi emosi sendiri! Pengen bejek-bejek mukanya, sumpah!Oke deng. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote and comen.
See you, guyssz🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
Ficción General"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...