"Tak apa jika mereka menganggap ku tak tahu diri, hidup bukan hanya terarah untuk mereka yang lupa diri."
--Fania Syafira••••
Malam ini, seperti permintaan Mia pada kakaknya sore tadi. Kini mereka tengah duduk pada lantai ruang tamu dengan meja kecil di hadapan mereka. Fania sibuk mengajar kan adiknya mengerjakan PR-nya. Namun, sudah selama itu pula, Mia tetap menggelang jika di tanya ia paham atau tidak.
Mendengus, lalu mencoba mengejarkan lagi dengan sangat pelan, Mia terlihat menganggukkan kepalanya jika di tanya, seolah ia sudah paham dengan penjelasan kakaknya.
"Paham kan?" Tanya Nia, tak terhitung keberapa kalinya.
"E-ee belum, kak." Mia membalas dengan kikuk ketika melihat wajah garang Fania.
"Belum? Sumpah Mia, kamu dari tadi gak ngedengerin, kakak?" Nia tak habis pikir dengan kinerja otak adiknya itu. Famia hanya nyegir tak berdosa.
"Soalnya kali kak yang salah, masa soal susah banget begitu, sih!" Ucap Famia seusai mendengus kesal.
"Kalo emang soalnya salah, pasti kakak gak bisa jawab. Tapi kenyataannya, kan bisa Miaaa." Fania gregetan dengan alasan Famia yang menurutnya tak masuk akal.
"Ya kalau gitu kakak kerjain ajalah, ribet amat, deh." Mia sudah muak dengan soal yang selalu menghantuinya itu.
"Kalau soal jawab itu emang gampang, Dek, tapi gimana sama kamu? Astagaaa." Frustasi sudah Nia dengan pikiran ajaib adiknya.
"Ish Kakak, ih. Aku capek tau kak, kakak aja ya, yang ngerjain." Mia mengeluarkan puppy eyes nya, mencoba merayu sambil mengerjab-ngerjabkan matanya, sok imut.
"Geli dek, sumpah!" Nia bergindik lalu dengan dongkol, ia pun mengerjakan PR adiknya membuat Mia yang melihatnya tersenyum senang.
"Makin sayang deh sama, kakak." Mia memeluk kakanya dari samping dan sang empu terdengar mendengus.
"Kalau ada maunya aja kaya gitu," ucap Fania.
"Tau aja, deh." Mia tertawa lepas membuat Nia yang melihatnya tersenyum simpul. Semoga, ia selalu melihat tawa adiknya.
•••••••
"Mah, mamah!" Di ruang tamu terdengar suara melengking Zean yang bergema, membuat Zio yang tengah menuruni tangga dengan menguap sedikit tersentak kaget.
"Apaan sih Lo teriak-teriak, kek Tarzan aja." Zio menuruni tangga dengan mengucek matanya. Hanya dengan memakai kolor dan kaus putih tak berlengan, juga sendal bulu-bulu berwarna abu-abu.
"Sewot banget Lo, tai!" Zean mendelik pada Zio, Lalu berjalan dengan menenteng sepatu nya.
"Woi cil, liat mamah gak, Lo?" Ziro menggelang kan kepalanya tanda tak tahu. Bocah itu tengah berbaring di salah satu sofa dengan tangan yang tengah menggenggam handphone tak lupa jari-jemari nya menari di layar handphone tersebut.
"Yo, cari mamah sana!" Zio mendelik pada Zean, ia baru saja mendaratkan pantatnya untuk melanjutkan tidurnya. Menatap tak minat pada Zean yang menyuruhnya dengan seenak jidat.
"Lo yang perlu, ngapain nyuruh-nyuruh gue," Ucap Zio. Menidurkan dirinya pada sofa yang sama dengan Ziro, beruntung sofa yang mereka tiduri lumayan besar.
"Heh, kalo Lo lupa, biar gue ingetin lagi. Gue ini kakak Lo, artinya kalo gue nyuruh, Lo itu harus nurut." Zean mendumel lalu menarik kaki Zio, membuat sang empu mengempas-hempaskan kakinya berontak terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...