"Hidupmu aturanmu, jangan pernah dengarkan manusia busuk yang menjelma menjadi malaikat!"
--Fania syafira••••••
Walupun diusianya yang terbilang anak-anak. Namun, ia juga dapat mengerti dengan apa yang terjadi pada ayahnya. Tetapi ia tak mengetahui, bahwasanya ayahnya di penjarakan. Selama ini, ia mengira ayahnya hanya sedang bekerja.
Segala cara ibunya juga keluarga lakukan, berusaha untuk bisa ayahnya dikeluarkan dari jeruji sialan yang menahan ayahnya, namun semunya nihil, tak ada satupun cara yang berhasil membebaskan ayahnya dari tuntutan tersebut.
Berkali-kali berusaha namun sepertinya takdir berkata lain, ayahnya mendekam di penjara selama 5 tahun lamanya, selama itu pula ibunya merawat juga membesarkan dia dan adiknya tanpa sosok pendamping dihidupnya.
••••••
"Ibu, mau makan," ungkap Fania. Karena sedari tadi perutnya tak henti-hentinya berbunyi. Ia duduk di atas kursi plastik sembari mengayunkan kaki kecilnya.
Tak beda jauh dengan adiknya yang duduk bersila di bawahnya sambil menatap sendu ibunya. Seperti mengetahui apa yang sedang ibunya rasakan. Adiknya berusia 2 tahun, belum terlalu lancar untuk berbicara, sementara Nia berusia 8 tahun.
Sari, menatap kedua anaknya sendu. Sedari pagi kedua anaknya belum mengisi perut kecil mereka dengan makanan, hanya meminum air ketika perut mereka keroncongan.
Menggapai anaknya yang duduk dilantai dingin dan menggendong nya di lengan kurusnya, ia mengajak kedua anaknya untuk keluar dari rumah kumuh yang mereka tempati.
"Ibu, kita mau kemana?" tanya Nia. Mendongak untuk menjangkau wajah ibunya yang masih terlihat cantik diumurnya yang sudah kepala tiga.
"Mau kerumah nenek, Nia laper kan? Yaudah kita makan disana aja yah," ungkap Sari. Mengacak rambut anak sulungnya ketika dengan semangat menjawab pertanyaan-nya dengan anggukan kepala heboh.
"Yeayy akhirnya makan juga, dari tadi Nia laper, ibu!" Nia berteriak dengan senang. Membuat Sari yang melihatnya hampir saja meneteskan air matanya, namun ia dengan cepat menghalau air matanya dengan mendongak ketika melihat anak dalam gendongan nya bertepuk tangan senang karena melihat kakaknya yang jingkrak-jingkrak kesenangan.
Ia tak boleh memperlihatkan kesedihan nya didepan kedua anaknya. Dengan melewati beberapa rumah dari rumah mereka, akhirnya mereka sampai pada rumah minimalis kedua orang tua Sari.
"KAKEK!!" Fania berlari menuju pada kakeknya yang duduk di sebuah kursi plastik, yang disusun agar tetap kokoh. Karena beberapa bagiannya sudah berlubang.
"Cucu Kakek, kenapa baru dateng?" Sahut Herman dengan senyum lebarnnya. Merentangkan kedua tangannya untuk menangkap cucu pertamanya dengan sayang
"Hehe, soalnya Nia sibuk." Nia nyegir lucu. Dengan menggaruk belakang kepalanya
"Sibuk? Sibuk ngapain sih. Kan, Nia masih kecil." Herman mengerutkan keningnya binggung dengan penuturan cucu perempuannya itu.
"Sibuk main dong kek, kakek gimana, sih" Nia berucap dengusan kesal ala anak kecil yang terlihat lucu di mata kakeknya.
"Aduhh, bisa aja cucu Kakek." Ujar kakek gemas. Herman mencium seluruh wajah cucunya, tak lupa menggosok-gosokkan kumisnya pada wajah cucunya. Nia kegelian dan merengek minta di turunkan dari pangkuan hangat kakeknya.
Sari yang melihatnya hanya bisa terkekeh kecil. Sudah tak heran dengan kelakuan Ayahnya pada Nia, yang akhirnya akan diceramahi habis-habisan oleh Nisa, ibunya.
"Nenek!" Nia berseru lantang memanggil neneknya. sudah dia bilang bukan? Tak akan lama lagi, suara cempreng nenek Nia, akan terdengar.
"Kenapa sih?" Dari dapur, suara Nisa sudah bergema dengan suara langkah kaki yang terdengar tergesa-gesa.
"Ayah nih, jailin Nia terus." Ucap Sari sambil menurunkan Famia Syazira- adik Nia dalam gendongannya pada karpet yang terlentang di depan meja Tv, ruang tamu.
"Nenek kan udah bilang jangan main sama kakek, kamu nih enggak bisa dibilangin," pungkas Nisa. Lalu mengambil alih Nia yang berada pada pangkuan suaminya.
"Nenek, Nia laper." Tutur Nia dengan mengerucutkan bibirnya.
Nisa yang melihatnya mengangguk, saeusai menatap pada Sari yang berdiri tak jauh darinya. Tak perlu di pertanyakan lagi kenapa Nia merengek kelaparan seperti itu. Karena sudah di pastikan, persediaan makanan anaknya itu, sudah tidak ada.
Kejadian seperti ini, sudah terjadi berkali-kali. Nisa menghembuskan nafasnya. Sedih rasanya melihat anaknya seperti itu. Namun, ia tak bisa membantu apa-apa, selain memberi Sari persediaan makanan yang mereka dapatkan dari hasil tanian ia dan juga suaminya.
"Yaudah yuk makan sama nenek. Nenek baru aja selesai masak," ungkap Nisa dengan kaki yang melangkah menuju dapur. Diikuti Sari dibelakangnya tak lupa Mia di gendongannya.
"Yes, ada sayur kangkung gak, Nek?" Nia berseru. Tak lupa mempertanyakan lauk kesukaannya, sederhana memang, namun menurut Nia itu sangat istimewa.
"Ada dong!" Nisa terkekeh lucu melihat semangat cucunya itu.
Mereka duduk di kursi masing-masing, kecuali Mia yang duduk di pangku oleh Sari. Mereka makan dengan lahap, di iringi celotehan Mia dan Nia yang tak ada habisnya.
"Ibu, habis ini Nia mau main, ya?" Pinta Nia yang saat ini duduk di kursi kayu depan Tv kakeknya, seusai menghabiskan makanannya.
"Nia, mau main sama siapa, sih?" tanya Sari. Ia kini menyuapi Mia dengan bisquit yang diberi oleh Nenek pada Mia, karena menangis.
"Nia, mau main sama Mauren, ibu." Ucap Nia dengan tatapan memelas.
"Yaudah, tapi pulangnya jangan sore-sore banget, ya. Ohiya, pulang nya juga langsung kerumah aja. Soalnya habis ini ibu juga udah mau pulang," pesan Sari pada anak sulungnya itu. Tak lupa mengusap kepalanya sayang.
"Oke ibu, tenang aja." Nia senang dengan penuturan ibunya. Setelah itu berlalu keluar dengan bernyanyi tak tentu lirik.
••••••
Segini dulu.
Harap tinggalkan jejak teman-teman. Vote dan comen kalian sangat berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
قصص عامة"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...