Selamat membaca.....
•••••••Melangkah kan kakinya memasuki rumah minimalis di hadapannya. Ia di sambut dengan Adiknya yang sedang duduk di kursi ruang tamu sambil melamun. Ia tersenyum melihatnya, walaupun tak ada senyum bahagia yang di timbulkan adiknya.
"Kamu lagi ngapain? Asik banget, deh ngelamun nya" Fania sedikit terkekeh, kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Famia.
Famia mendongak, lalu memaksakan senyumnya "gak lagi ngapa-ngapain, kak. Duduk aja," ujar nya.
"Udah gak ada yang sakit, kan?" Fania menyelipkan sehelai rambut Famia ke telinga.
Sang empu menggelang lalu tersenyum simpul. "Udah gak kok, kak." Balasnya.
"Bagus kalau gitu. Eh, nenek mana? Kok dari tadi gak keliatan?" Fania menaikkan sebelah alisnya sambil menoleh kiri-kanan mencari keberadaan Neneknya.
"Lagi nganterin pesanan kue, kak." ucap Famia sambil menyandarkan punggungnya.
Fania mengangguk paham, lalu berlalu ke dalam kamar seusai mengusap kepala Famia sayang. Memutar handel pintu kamar nya, ia masuk setelah menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya.
Fania tak ingin menangis, ia tak ingin memperlihatkan kesedihan nya. Mungkin sebagian orang mengira ia adalah sesosok orang bahagia yang tak mempunyai beban. Sangat aneh jikalau ia menangis tiba-tiba. Ia sedih, sedih melihat adiknya. Adiknya pucat, berat badannya juga terus menurun. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada adiknya, bagaimana Tuhan?
Fania menggelang kan kepalanya berusaha menjauhkan pikirannya itu. Ia tak boleh pesimis, adiknya pasti sembuh, ia hanya patut terus meramal, kan berdoa dan meminta kepada Tuhan untuk menyembuhkan penyakit adiknya.
Fania mendudukan dirinya pada kasur seusai menggantungkan tasnya pada gantungan tas yang terpajang di sebelah pintu kamar nya. Mengganti bajunya dan bersiap untuk membantu neneknya membuat stok pesanan kue.
Fania membawa kedua pasang kakinya untuk menuju ke dapur. Disana sudah ada neneknya yang dengan lincah membuat adonan kue. Fania berdiri di sebelahnya.
"Nek!" Nenek tersentak kaget, lalu memandang Fania tajam.
Fani cengengesan dan menggaruk tengkuk nya kikuk "maap, nek. Hehe." Nenek memutar bola matanya malas.
"Kamu bantuin liatin itu pemanggang nya. Jangan sampe hangus, loh ya." Ucap nenek seusai membuat adonan kue.
Fania mengangguk paham lalu menjalankan perintah Nenek nya seusai memberi hormat pertanda setuju. Nenek yang melihatnya hanya terkekeh kecil.
"Ini pesanan kue dimana lagi, nek?" Tanya Fania yang kini tengah mengecilkan sedikit apinya agar tak membuat kuenya hangus.
"Di rumah yang waktu itu kamu anterin kue." Balas nenek yang sibuk mencuci tangannya karena terdapat tepung yang sudah mengeras.
Fania berusaha mengingat, lalu menjentikkan jarinya setelah mengingat rumah yang di maksud neneknya. Itu adalah rumah Zean. Rumah bertingkat dua dengan gaya modern.
"Oh, rumah itu, toh" ucap Fania membuat neneknya tersenyum.
"Kamu nanti anterin, ya?" Pinta Nenek yang kini menghadap dirinya.
Fania hanya bergumam setuju, lalu mengeluarkan kue yang sudah matang dari pemanggang. Menghirupnya dengan nikmat, ia terpesona karena wangi harum yang di keluarkan kue tersebut.
"Wangi banget, bjir." Ucap nya geleng-geleng kepala.
Nenek menepuk punggungnya membuat ia tersentak. "Nenek, nih. Ngagetin aja, akh!" Ucap nya. Sedangkan nenek melengos tak berdosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...