23. PENYESALAN TERBESAR

65 26 0
                                    

Ibu, ajarkan aku tentang bagaimana caranya menggenang jasamu. Semuanya telah sirna di telan bahasamu.
-Fania Syafira

Selamat membaca.....
•••••••


Tak pernah sama sekali terpikirkan olehnya untuk membenci kedua orang tuanya. Tanpa mereka, ia tak akan ada di dunia ini. Namun, perlakuan mereka kadang seakan membuat nya menjauh dan seakan menyuruhnya untuk sadar, bahwa orang tuanya tak menginginkan kehadiran mereka lagi.

Menghembuskan nafasnya, ia melangkahkan kakinya memasuki rumah dan mendapati seseorang yang sudah lama ia nantikan kedatangannya. Tak menghiraukan, ia melengos menuju kamarnya sebelum perkataan sinis seseorang membuat ia berhenti dan menoleh kebelakang.

"Bagus, ya. Sekolah udah selesai tapi pulangnya hampir malem," itu adalah suara Ibunya. Fania menatap mereka datar, tak ada sama sekali raut yang ia tunjukkan selain memandang kedua pasang menusia yang bergelar ibu kandung dan ayah tiri, kini menatap dirinya sinis. Fania muak untuk sekedar mengakui jikalau mereka, orang tuanya.

Fania hanya diam, begitupun ibunya. Beda dengan pria yang berada di sebelah ibunya duduk, memandang Fania sinis, menunjukkan ketidak sukaanya.

"Nenek sama Famia, mana?," Melanjutkan perkataan nya. Ibunya menaikkan sebelah alisnya menuntut jawaban. Sekali lagi, Fania hanya diam, ia malas sekali untuk sekedar membuka mulut.

"Ngapain kamu tanya sama dia? Dia mana tau, taunya keluyuran aja." Ucapan sinis itu terlontar dari mulut ayah tirinya, Fania hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Om mending diem, om gak di ajak. Gak usah sok tau!" Fania merotasikan matanya malas.

"Gak sopan! Apa begini caramu bicara sama orang tua, ha?" Sari menatap anaknya berang, ia berdiri dan menunjuk Fania dengan jari telunjuk nya.

"Tapi sayangnya, dia bukan orang tuaku. Ngapain harus sopan sama dia? Buang-buang waktu." Tak ada rasa takut sedikitpun melihat tatapan ibunya.

"Aku gak akan kaya gini, kalau kalian juga gak kaya gitu. Udah cukup Bu, aku capek! Mending ibu pulang. Oh iya, sekali aja, Bu. Ibu jenguk Famia, dia lagi di rawat di rumah sakit," lirih Fania.

Sari terdiam, hatinya tersentil ketika melihat linangan air mata di pipi anaknya. "Paling-paling juga sakit karna capek keluyuran." Sari menanggapi dengan santai dan mendudukan dirinya kembali.

Fania menatapnya tak percaya, adakah seorang ibu seperti ini. Anaknya sedang sakit. Butuh dirinya, butuh perhatian nya. Tetapi Ibunya, jangankan sekedar memberi perhatian kecil, biaya kehidupan mereka saja tak pernah ibunya berikan.

"Kalaupun Famia sakit karna keluyuran, itu bukan semata-mata Famia main sama temen-temen nya sampai lupa waktu. Famia bantuin nenek jualan, Bu! Bukan keluyuran kaya orang gak punya beban," ujar Fania. Ia melirik ayah tirinya yang menolehkan kepalanya ke arah lain karena merasa tersinggung.

"Ya-yaa, terserah kamu, Ibu gak peduli," Balas Sari malas.

Fania tertawa sumbang, "Emang ya, ibu bakal lupa sama anak hanya karena laki-laki. Bu, kenapa, ha? Kenapa ibu berubah, ibu udah bukan ibu yang aku kenal. Ibu yang selalu berusaha buat bikin anaknya bahagia, yang rela gak makan asal anak-anaknya bisa makan, ibu-" sebelum Fania menyelesaikan ucapannya, Sari sudah lebih dulu menyela.

"Ibu capek, Fania! Kamu pikir ibu gak capek ngurusin kalian, ha? Pintar sekali kamu ngomong, kamu udah rasain, kan. Gimana susah nya cari uang!" Sari terbawa emosi.

"Itu tanggung jawab ibu sebagai orang tua! Kalau ibu gak bisa menuhin tanggung jawab, kenapa ibu biaran kita lahir, ha? Kenapa ga sekalian aja ibu gugurin kita pas di kandungan?." Fania meneteskan air matanya. Meremas kedua tangannya seakan menyalurkan rasa sakitnya.

"Itu semua penyesalan terbesar ibu, gak ngegugurin kalian!"

Seperti ada batu yang menghantam hatinya, Fania membeku. Terkejut dengan pengakuan ibunya. Setetes air mata jatuh di pelupuk matanya, mengepalkan kedua tangannya untuk berusaha kuat. Menghapus air matanya kasar, sekali lagi, ia tertawa. Tawa pedih yang mengandung banyak tangisan.

"Segitu nya, ya?" Di sela tawa dengan tetesan air mata, ia menatap sesosok ibu yang begitu ia sayangi, ibu yang telah memberikan kasih sayang tulus padanya, ketika dirinya kecil. Yang selalu menguatkannya untuk tetap tegar menjalani hidup. Tetapi sekarang, semuanya berubah, ibunya adalah luka terbesar nya.

"Segitunya ibu gila karna dia, ha? Apa ibu sadar? Ibu ngebuang anak ibu, hanya demi laki-laki yang gak tau cara menghargai." Fania memandang tajam pada ibunya, tak lupa menunjuk ayah tirinya yang kini tengah berdiri di sebelah ibunya, memandang tak kalah tajam padanya.

"Gak usah sok tahu, kamu!" Sari menggandeng sebelah tangan suaminya, seakan menunjukkan pada Fania bahwa perkataan nya itu tidak benar.

Fania tertawa, menertawakan kebodohan ibunya, "Ibu pikir aku gak tau? Ibu gak pernah di anggap sama dia! Ibu hanya di jadiin babu sama dia, nyari nafka yang padahal itu tanggung jawabnya, apa yang ibu pertahanin dari laki-laki kaya gitu, ibu?" Fania terkekeh sinis.

Bima melangkah gesit menuju Fania, mengangkat tangannya untuk menampar Fania, sebelum perkataan Fania membuat pergerakannya terhenti.

"Mau apa, ha? Lo siapa? Walaupun gue gak hidup bareng sama orang tua gue, mereka gak pernah sama sekali nyentuh gue seujung kuku pun, dan Lo? Seenak jidatnya Lo mau nampar gue. Lo siapa?" Ucap Fania penuh penekanan. Bima terdiam kaku di hadapan nya.

Fania terkekeh geli dengan ekspresi yang di keluarkan oleh ayah tirinya itu. Sedikit menyingkir untuk menghadap pada ibunya, yang terdiam menatap mereka.

"Perkataan ibu hari ini udah bikin aku sadar. Sadar bahwa luka terbesar tumbuh dari seorang ibu. Ibu yang dulunya selalu ngajarin apa itu cinta, tapi sekarang ibu matahin itu, di hati Fania. Aku gak benci ibu, ibu orang tuaku. Aku cuman nyayangin, kenapa aku sama Famia, harus lahir dari rahim seorang ibu, yang rela buang anak demi seonggok sampah!" Ujar Fania.

Sari terdiam, diam menatap Fania yang kini menatapnya seakan ia orang asing. Ada perasaan sesak dalam hatinya. Namun, ia menepis jauh-jauh perasaan itu.

"Yahh, tapi ibu gak pernah nyesel, malahan ibu seneng, kok. Bima lebih dari ayahmu," balas Sari tersenyum bangga.

Fania menaikkan sebelah alisnya, "kelebihan nya apa, tuh? Mabuk-mabukan, bukan?" Ia terkekeh dengan perkataan nya sendiri.

"CUKUP! Kurang ajar kamu, ya!" Sari menaikkan volume suaranya.

Fania menaikkan sebelah alisnya "Oh, ajarin dong, biar gak kurang ajar." Katakan lah ia tak punya sopan santun. Itu sangat benar, tetapi perlakuannya adalah cerminan lawan bicaranya. Jadi jangan pernah menyalahkan dirinya. Jikalau ibunya tau cara menghargai, ia pun, akan lebih-lebih menghargai mereka.

"Oh iya, sebelum ibu pergi. Aku cuman mau minta satu permintaan. Tolong, Bu. Walaupun ibu udah gak perduli sama kita. Aku mohon, sekali aja ibu jengukin Famia." Fania menatap ibunya dengan pandangan memohon.

"Famia sakit bukan hanya karna dia demam. Famia ... mengidap kanker otak stadium awal. Famia sakit, ibu." Lirih Fania sementara Sari membeku.

•••••
Terimakasih.
Jngn lupa votmen.

Tertanda
gril_04

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang