19. MENGUPIL

49 29 1
                                    

Bahagia tak selamanya tentang uang. Tetapi sekarang aku butuh uang untuk bisa bahagia.

Selamat membaca....
••••••

Di dalam sebuah kamar bercorak biru mix putih itu, terdapat seorang remaja yang sedang sibuk dengan buku pelajaran di hadapannya. Besok, tepatnya hari Senin, ia akan berkutat dengan banyak soal yang nanti bisa menguras otaknya. Namun, karena ia cukup pintar mungkin itu akan sedikit gampang untuk dirinya.

Ia duduk pada kursi meja belajar. Menulis, membaca, mengisi soal. Sedari tadi hanya itu yang ia lakukan, sesekali ia mengetuk-ngetuk kan bolpoin pada buku cetaknya.

"Bisa gila nih gue, akh!" Walaupun ia adalah seorang siswi yang bisa di katakan pintar, tetapi bukan berarti ia juga tak pernah merasakan kesulitan.

Ia mengerang kesal, karena beberapa soal yang tengah ia kerjakan sedikit sulit. Entah karena sulit atau memang pikiran nya yang sedang kacau balau.

Adiknya, Famia sedang di rawat di rumah sakit karena penyakitnya yang kambuh, ia sangat khawatir dengan keadaan adiknya. Neneknya yang menyuruhnya untuk pulang kerumah untuk belajar, biarkan ia yang menjaga Famia.

Ia sempat menolak, tetapi karena memang neneknya yang keras kepala, jadinya dengan sedikit kesal ia pulang dan menjalankan yang di sampaikan oleh neneknya.

"Fania-Fania. Mending Lo cepet-cepet belajar, biar ini ulangan cepet keler, dan gue bisa cari kerja," ia menyemangati dirinya sendiri. Mengepalkan tangannya keudara dan mencoba fokus ke pelajaran.

Beberapa menit berkutat kini ia berteriak senang karena soal yang tadi sedikit sulit, bisa ia kerjakan walaupun menguras tenaga nya.

"Ck, ck, ck pintar juga gue, ya," ucapnya. ia terkekeh kecil.

Ia beranjak dari meja belajar setelah membereskan semua perlengkapan nya. Menidurkan dirinya di atas tempat tidur kecil yang lumayan empuk, ia termenung. Banyak sekali pikiran-pikiran yang membuatnya kadang seperti orang bego. Mungkin, ia terlihat baik-baik saja, tetapi tidak dengan otaknya yang sering beradu argumen dalam kepala yang kadang tak sejalan dengan hatinya.

Jika nanti ia lulus, itu bukan berarti dia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, zaman sekarang ijazah SMA tak begitu berlaku, sekarang pensyaratan pekerjaan minimal harus sarjana. Lalu, bagaimana dengan dirinya yang hanya lulusan SMA.

Mengembuskan nafasnya panjang, ia mencoba memejamkan matanya, berharap bisa berhenti dengan pikiran kacaunya yang hampir membuatnya sakit mental dan hilang kewarasan.

Memilih menyelami alam mimpi, dan merencanakan akan mencari solusi dengan sahabat nya, Mauren. Biaya kemoterapi adiknya saja adalah hasil dari pinjaman neneknya dari tetangga, ia berusaha untuk mengganti nya secepatnya. Tak ingin berhutang dan menambah beban pikiran.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pagi-pagi buta, Fania sudah bangun dan berkutat dengan alat masak. Ia berencana membuat sarapan yang akan ia bawa kerumah sakit untuk neneknya yang sedang menjaga Famia di rumah sakit.

Dapur kecil yang terlihat tak begitu lengkap, sudah sangat rapih setelah di bersihkan oleh Fania. Ia adalah tipikal orang yang tak menyukai apapun yang berantakan. Semua akan ia bersihkan setelah selesai ia pergunakan ataupun siapapun itu. Masih ingat bukan jikalau ia akan misuh-misuh jika melihat ruangan berantakan karena ulah adiknya dulu.

Ia terkekeh mengingat semua itu, "sedih lagi jadinya," ucap nya.

Setelah selesai kini ia sudah berseragam rapi dan bersiap untuk pergi kesekolah tak lupa menyempatkan untuk singgah ke rumah sakit.

Mengayuh sepedanya dengan sedikit buru-buru agar tak terlambat, ia kedinginan karena udara pagi yang lumayan dingin pagi ini, apalagi sebelum itu hujan mengguyur daratan yang membuat jalan becek, maupun suasana yang sangat dingin membuat Fania sedikit menggerutu.

Bukannya ia tak menyukai hujan, hanya saja ia sedikit kesal pada dirinya sendiri karena tidak memakai pelindung untuk menutupi bagian tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan.

Di lain tempat dengan waktu yang sama, pagi-pagi sekali Zean sudah mendapatkan teriakan melengking dari peri tak bersayap nya. Ia di bangunkan dengan cara yang sadis dengan alasan yang membuatnya mengumpat pagi-pagi.

"Zeann, beliin mama bubur, dong," ucap Mira. Ia menarik-narik selimut tebal yang membungkus tubuh anak sulungnya itu.

"Zean, durhaka loh kamu kaya gini." Jikalau Mira sudah mengeluarkan kata-kata keramat itu untuknya, maka tak ada elakkan lagi yang dapat ia keluarkan.

"Mamah nih, Masi pagi juga." Zean bersungut-sungut sambil mengucek matanya sebal.

"Kenapa gak Zio aja sih, mah." Tak ayal ia pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi, ini terlalu dingin membuatnya merinding setelah selesai cuci muka.

"Zio mana mau. Dia, kan mau sekolah." Mira merapihkan kembali tempat tidur anaknya yang seperti terkena serangan angin topan. Sedikit aneh dengan anaknya yang tak ada kalem-kalem nya saat tidur, seperti sedang di ring tinju saja.

"Ck, manjain aja terus. Aku aja yang terus di jadiin babu." Jikalau Zio mendengar nya sudah di pastikan dia akan mengeluarkan unek-unek nya sebagai seorang anak tengah. Selalu mengalah dan selalu saja salah. Ingin berteriak dan melempar kan beton saja pada saudara-saudara nya.

"Udah deh, cepet sana beliin mama bubur ayam," titah Mira lalu melenggang pergi meninggalkan Zean yang sibuk dengan penampilan nya.

Ia hanya memakai celana jeans sebatas lutut dan hoodie hitam yang membuatnya seperti anak berusia 17 tahun, padahal umurnya sudah 25 tahun. Sudah setua itu memang ia, hanya saja kadang berlagak menjadi anak ingusan, alias memang tak sadar umur.

Menuruni tangga dengan muka bantal, ia sudah di suguhkan dengan perdebatan kedua adik tak kasat matanya itu. Melengos menginggalkan kerusuhan kedua saudara nya yang tak tahu sedang berdebat soal apa, sebelum sebuah sepatu tiba-tiba melayang menuju kearah punggungnya, jika ia tak reflek menghindar.

Ia berbalik dan menatap nyalang manusia jelmaan Kunti bogel yang kini nyegir tak berdosa sambil menenteng sebelah sepatunya. Tadi, ia berancang-ancang untuk melemparkan pada Zio. Namun na'as, sepatunya itu malah melayang menuju seseorang yang sedang dalam mode senggol bacok.

"Sini, Lo!" Zean mengayunkan tangannya memanggil sang pelaku yang kini sedang beradu tatapan sengit dengan Zio.

"Lo, sih." ia menggerutu kesal pada Zio yang kini tersenyum kemenangan melihatnya.

Berjalan dengan sesekali menoleh kebelakang untuk mencari seseorang sebagai perlindungan, namun sepertinya takdir tak berpihak padanya karena kini ia telah sampai di hadapan sang abang sulung yang menatapnya tajam dengan mata melotot.

"Bang Zio tuh bang, yang suruh lemparan," cicit nya. Zio mendelik dan menatap punggungnya tajam, jikalau tatapan mengeluarkan pisau mungkin punggung Ziro sudah berlubang.

"Babi! Siapa yang nyuruh Lo bego!" Zio meremas sebelah tangannya melampiaskan kekesalannya pada Ziro.

"Gak usah nuduh-nuduh orang, bocah. Gue tau Lo yang ngelemparin," ucap Zean. Setia menatap Ziro yang kini santai saja sambil mengupil.

"Yaudah maap, lagian gak kena juga. Alai banget," Ziro dengan santai memutar-mutar upilnya pada jadi telunjuk dan ibu jarinya di hadapan Zean yang mendelik jijik melihatnya.

"Iyuh, jijik anjing!" Zean mundur dengan wajah teramat jijik.

"Dih, emas nih," ucap Ziro. Ia menjentikkan jarinya di hadapan Zean, membuat upilnya mendarat tepat pada kaki Zean.

"Sialan Lo, ya!" Zean menendang bokong Ziro lalu menyambar telinganya dan menjewernya dengan kesal.

Ziro mengaduh kesakitan sambil memanggil Mira yang tak kunjung menjawab, membuat ia menggigit lengan Zean untuk menghentikan aksi gila abangnya ini.

Merasakan gigitan dua taring yang seperti menancap lengan nya, ia dengan paksa mendorong kepala Ziro untuk menjauh dari dirinya. Bisa robek dagingnya kalau seperti ini.

~~~~~~~~
Segitu dulu guyss
Jnlup votmen men temen.
See you next chap.
Jeng jeng

Tertanda
Nurfadilah 💐

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang