37. LUKA PERTAMA

43 23 0
                                    

Aku tak ingin menyalahkan takdir, aku hanya lelah dengan segalanya. Gantikan aku, tuhann.
-Fania Syafira

HAPPY READING.
tandai typo ya, guys.
••••••

"Aku bukan orang yang bakal mohon-mohon cuman buat hal memuakkan ini. Tapi ini beda, Ayah. Aku mohon sama ayah untuk terakhir kalinya, permintaan ini bisa ayah turutin, kita gak minta peran ayah sekarang. Hanya butuh ayah datang walaupun cuman sebentar." Ujar Fania sehabis mengskak Vita yang terdiam di tempatnya, ia dengan malu membersihkan sisa eyeliner miliknya, yang telah meluber kemana-mana.

"Permintaan Famia cukup simpel, tolong temuin dia. Aku harap ayah bisa." Lanjut Fania lagi.

Restu tengah berfikir keras, sekarang. Masalahnya, ia telah menjanjikan pada Vita untuk mengadakan liburan Minggu ini. Mereka akan menghabiskan waktu dengan keluarga kecil mereka, termasuk dengan Mauren, yang merupakan teman Vita.

Vita mendelik sinis kearahnya, sementara Mauren menatap lekat pada Fania. Bisa ia rasakan ada beban berat yang tengah Fania pikul, sorot matanya sendu, seakan tersimpan banya luka. Mauren ingin sekali merangkul Fania seperti kebiasaanya dulu. Menemani Fania dalam suka maupun duka, tertawa bersama dan menghabiskan hari-hari berdua. Ia tersenyum miris, ketika mengingat ucapannya pada Fania tempo hari. Jikalau ia menjadi Fania, ia pastikan tak akan pernah memaafkan kelakuannya.

"Ayah coba pikir-pikir dulu, ya? Masalahnya, ayah udah janji sama Vita buat ngajak dia liburan minggu ini. Minggu depan aja, gimana?" Ujar Restu.

Fania menatap dirinya nanar. Apakah sebegitu pentingnya liburan ini dengan kondisi adiknya, ayahnya bahkan tak pernah sama sekali membuat mereka bahagia, di bandingkan dengan anak sambungnya itu, yang selalu ia prioritas kan dari segala nya, ia tersenyum miris.

"Ayah ... Ini permintaan terakhir dari Famia. Aku tau ayah pasti gak lupa sama apa yang lagi Famia alamin. Hidup dia berat ayah, hidup dia gak sebahagia anak sambung ayah. Aku mohon sama Ayah, tolong ... Temuin, Famia." Air mata Fania mengalir pilu di hadapan ketiga orang itu.

Restu tertegun, ia lupa akan apa yang pernah Fania sampaikan tempo lalu padanya. Sangking sibuknya dia dengan keluarga barunya, ia melupakan kedua anaknya. Tetapi, kenapa Fania ataupun Famia tidak datang untuk menemui dirinya ketika sedang free, itu juga salah mereka.

"Ayah inget, kok. Tapi mau gimana lagi, Ayah harus motong dua tubuh ayah?" Ujar Restu dengan lempeng.

Fania mengepalkan kedua tangannya, ia menahan amarahnya sekarang. Ketika mendengar ucapan Ayahnya yang sangat kelawat santai, dengan wajah biasa saja terpampang begitu nyata di hadapannya.

"Orang bilang, ayah adalah cinta pertama anak perempuan nya. Tapi aku bakal nentang itu dengan keras. Nyatanya, ayah adalah orang pertama yang ngegoresin luka di hidup anak perempuan nya! Aku benci ... Ayah." Setelah berucap, Fania berlalu dengan isakan pedih yang sedari tadi ia tahan. Perasaan sesak kembali terasa di dadanya, ia bersumpah pada dirinya sendiri, tak akan pernah mengemis hal yang sama berulang kali.

Ia berhenti di tepian jembatan dengan isakan yang terdengar tertahan, sebelum tiba-tiba kedua bahunya di pegang seseorang. "Gue tau Lo lagi sedih, nangis aja, gue bakal temenin Lo disini." Fania menengok dengan linangan air mata di pipinya.

"Mauren," ujar Fania.

Ia dengan cepat memeluk Mauren dengan erat, ia rindu pelukan sahabatnya ini, Ia rindu dengan semua kerecokan Mauren, ia rindu segalanya tentang Meuren. "Mauren, maafin gue. Gue mungkin udah terlalu keterlaluan sam-" ucapan Fania langsung di sambar oleh Mauren.

"Gue yang harusnya minta maaf sama Lo. Gue tolol, gue bodoh. Dengan mudahnya gue mutusin persahabatan kita cuman karna hal gak berguna, pukul gue Fania, gue bodoh!" Ujar Mauren.

My Life! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang