Cintaku terasa sia-sia.
--Zean.HAPPY READING.
••••••Langkah kaki terdengar tergesa-gesa dengan langkah beriringan, pekikan suara dengan nada sedikit kesal bercampur khawatir bergema di lorong rumah sakit.
"Dokter!" Pekikan terus terdengar, sebelum salah seorang dokter yang tengah berdiri di salah satu bilik pasien berjalan dengan tergesa ke arah mereka.
"D-dokter, adek saya, dok." Fania menatap berharap pada dokter perempuan berjas putih itu. Dokter yang menangani Famia selama pengobatan nya.
Dokter yang telah mengetahui kondisi Famia dengan sigap menyuruh para suster untuk membawa Famia keruangan operasi sesuai perintah Zean. Dorongan ranjang terdengar sepanjang lorong rumah sakit menuju ruangan operasi, dimana Famia akan di selamat kan.
Berbagai ramalan doa Fania panjatkan kepada sang pencipta seiring langkah kakinya yang terus melangkah gesit menemani dorongan para suster di ranjang adiknya yang terbujur tak berdaya. Air matanya mengalir deras, tak ingin terjadi sesuatu pada adiknya.
"Kami akan segera mengoperasi pasien, kami minta doanya agar operasi bisa berjalan dengan lancar." Dokter itu berujar seusai Famia di bawa ke dalam ruangan operasi oleh para suster.
Fania mengangguk mantap, "tolong adik saya, Dok." Lirih Fania.
Setelahnya pintu ruangan tertutup dan operasi pun dimulai. Fania luruh kelantai sebelum dengan sigap Zean menahan bobot tubuhnya, air matanya jatuh dengan bibir bergetar, dunianya serasa hancur sekarang juga. Ia tak ingin kehilangan adiknya.
"F-famia, Zeannn." Fania menangis pilu di dalam pelukan hangat Zean, ia memukul punggung Zean dengan kepalan tangan nya.
"Sttt, tenang, ya? Berdoa sama tuhan, gue yakin Famia bakal selamat." Zean membawa Fania untuk duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan operasi.
"Dia gak bakal ninggalin gue, kan, Zean? Ayoo jawab gue!" Fania mengguncang bahu Zean menuntut jawaban.
Zean menatap netra hazel Fania dalam, ia tak suka ketika melihat Fania dengan keadaan seperti ini, ia senang melihat Fania tertawa dan tersenyum dengan tulus. "Famia bakal baik-baik aja, Fania!"
"Dia gak bakal ninggalin gue, kan?" Lirih Fania dan membenamkan wajahnya di dalam dekapan Zean.
Zean mengusap lembut belakang punggung Fania untuk menenangkan sang empu. "Sebenarnya apa yang terjadi sama, Famia?" Tanya Zean ketika mereka membisu beberapa detik.
"D-dia punya kanker otak stadium terakhir, Zean," lirih Fania.
Zean terdiam tak percaya, "Dan kenapa baru sekarang kalian operasi, kenapa gak dari dulu?" Tanya Zean.
"Kita harus apa? Uang kita gak ada, orang tua gue sibuk masing-masing, apa yang gue harepin selain diri gue sendiri? Gue gak mau nyusahin orang lain, Zean." Air matanya meluruh.
"Kenapa Lo gak minta bantuan, Gue?" Ujar Zean.
Fania terdiam, lalu melepaskan pelukannya dan duduk dengan tegap lalu pandangan lurus kedepan, pandangan kosong dengan fikiran yang kalut. "Lo bukan siapa-siapa gue."
Zean menegang, seketika ia tersadar, ia tersenyum getir, wajahnya memancarkan kesenduan mendalam, perkataan Fania terngiang di kepala, gerakan bibir Fania yang menyampaikan kalimat barusan terekam dengan jelas di benaknya. Ia berdiri dari duduknya, sebelum melangkah, ia menatap Fania yang tetap pada posisinya.
"Gue bakal bayar biaya operasi nya, sebagai bentuk, gue adalah bos Lo. Pesan gue cuman satu, kalau terjadi apa-apa jangan sungkan dateng sama gue, pintu rumah gue terbuka buat Lo, sama kaya hati gue, gue yakin Lo gak buta tentang rasa suka gue sama Lo. Oh iya, jangan lupa makan, gue gak mau Lo kenapa-kenapa, Lo harus selalu ada buat Famia, gue pamit." Zean membawa kedua kakinya dengan langkah yang terlihat lambat, hatinya remuk ketika melihat Fania terlihat' biasa saja.
"Gue sayang sama Lo." Gumamnya.
Fania menatap nanar punggung Zean yang semakin menjauh dari pandangan nya, hilang di belokan lorong rumah sakit, air matanya luruh kembali tanpa ia minta. Ia tak paham dengan perasaannya sendiri, ia tak bodoh, ia tahu tentang perasaan Zean padanya, ia tahu segalanya.
Fania mengerang frustasi, banyak hal yang tengah bersarang di benaknya, hatinya sakit ketika melihat Zean pergi dengan kepala menunduk dalam, melihat netra hitam Zean yang selalu menatapnya hangat, terganti dengan pandangan sendu pada dirinya.
Fania menunduk dengan air mata meluruh, ia lelah dengan segalanya, iasakan nya terhenti ketika langkah kaki terdengar tergesa menuju kearahnya, ia mengangkat pandangan nya, dan di suguhkan dengan Mauren yang menuntun neneknya berjalan kearahnya.
Ia berdiri dan meyambut kedatangan nenek dan memeluk nya dengan erat, bibirnya bergetar tak sanggup untuk menyampaikan kondisi Famia, melihat keriputan di wajah nenek membuat air matanya luruh deras.
"Famia, Nenek." Nenek tersenyum, ia membawa kepala Fania untuk menatap kearahnya.
"Famia bakal baik-baik aja, kita berdoa, ya?" Ujar nenek.
••••••
Kepulan asap dari benda nikotin itu mengepul di udara. Menyebar kesegala arah ketika di terpa angin malam yang terasa dingin ketika menyentuh kulit, membuat bulu kuduk berdiri. Namun, tak membuat lelaki dewasa itu beranjak untuk sekedar menghangatkan tubuhnya, bibirnya melengkungkan senyum, bukan senyum manis khas dirinya, melainkan senyuman getir.
Ia bukan perokok aktif, hanya akan menggunakan benda itu ketika ia sedang mengalami suasana hati buruk yang membuatnya butuh untuk melampiaskan segalanya. Ia menyesap dengan nikmat benda itu, tak lupa mata yang terpejam dengan fikiran yang tak di tempat.
"Sia-sia, ya?" Ia tertawa hambar seusai berucap.
Menyesap kopi buatan tangannya sendiri dan menikmati cairan hitam yang mengalir ke tenggorokan menghantarkan rasa pahit yang teramat. "Gue cinta sama Lo, gue sayang sama Lo, lebih dari gue sayang sama diri gue sendiri," Ucapnya.
"Cinta bertepuk sebelah tangan, perjuangan yang sia-sia, nyata adanya, dan gue ngerasain semua itu." Tawa sumbang mengudara di kesunyian dan kegelapan balkon kamarnya.
Dering telepon membuat ia mengalihkan perhatiannya pada sebuah meja bundar di hadapannya, tertera nama 'cewek aneh' disana. Ia mengukir senyum mengingat momen-momen pertemuan mereka. Pun, ia mengambil ponselnya dan menggeser icon menerima.
Belum sempat ia menjawab telepon itu, sambungan nya telah terputus secara sepihak, dan layar pun kembali mati mengantarkan kegelapan di dalam netranya. ia buru-buru berdiri dari duduknya dan berjalan ke dalam kamar kemudian mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas samping kasurnya lalu berlalu dengan tergesa.
••••
Fania mengusap wajahnya kasar, ia menatap ponselnya dengan perasaan tak enak, ia sempat menelpon Zean namun dengan cepat ia matikan kembali karena merasa akan menganggu Zean. Ia khawatir Zean kenapa-kenapa dan marah kepadanya, ia tak akan bisa membayangkan jikalau terjadi sesuatu pada Zean.
Pintu ruang operasi terbuka ketika beberapa jam lalu tertutup dengan sangat rapat, membuat Fania langsung berjalan cepat menuju dokter yang keluar dari dalam ruang operasi lengkap dengan atribut yang masih melekat di tubuhnya.
Mauren dan Nenek juga berdiri di samping Fania menatap pada dokter perempuan tersebut, "gimana, Dok? Operasi lancar, kan?" Tanya Fania.
Dokter itu mengangguk mantap membuat senyuman bersyukur terbit di ketiga pasang sudut bibir perempuan berbeda usia itu. "Operasinya berjalan dengan lancar .... "
••••••
Terimakasih.
Jangan lupa vote and comen, guys!
See you next chap! Byeeee
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
Fiksi Umum"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...