HAPPY READING, GUYS!
•••••Selama perjalanan, hanya sunyi yang mendominasi. Mereka hanya diam, Fania diam menahan kekesalannya pada Zean. Sementara sang empu, hanya santai seolah tak melakukan apapun. Ia bersiul membuat Fania yang mendengar nya bertambah emosi. Tetapi karena tahu diri, ia hanya berdiam diri dengan kepalan tangan yang sudah memerah.
"Lo bisa diam gak, sih!" Fania berucap kesal. Ia sudah tidak tahan.
Zean menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. "Lo kenapa, sih? Marah mulu, perasaan." Ujar Zean dengan gumaman di ujung kalimat.
Fania menutup matanya dan mengambil nafas, mencoba untuk tetap sabar. Menghadapi Zean, butuh tenaga juga. Dari pada ia semakin meradang, lebih baik ia memainkan ponselnya saja. Tapi sepertinya Zean tak senang melihat ia tenang, walaupun hanya sesaat.
Dengan sengaja, Zean mengerem mendadak. Membuat Fania hampir saja terhantuk oleh dashbor mobil. Mengambil nafas kasar, Fania mengalihkan perhatian nya pada Zean. Zean hanya tersenyum polos.
"Lo dari tadi cari gara-gara, yak!" Fania memukul brutal bahu Zean. Zean memberhentikan mobilnya di bibir jalan yang masih terlihat sunyi.
Zean sedikit mengaduh ketika Fania mengigit bahunya. "Akh! Sakit bego!" Zean berusaha mendorong kepala Fania. Tapi jangankan menjauh, sedikit bergeser pun tak sama sekali, Fania seperti patung.
"Rasain! Emang enak?" Ujar Fania. Ia sangat puas ketika melihat wajah Zean yang sangat kesakitan. Sudah ia pastikan bahu Zean pasti sedikit cedera. Dan ia tak perduli, itu setimpal dengan kalakuan Zean padanya.
"Gilaaa, sakit, nih." Adu Zean dengan mengusap-usap bahunya, mencoba menghilangkan rasa perihnya.
Fania melengos tak berdosa, ia dengan santai memainkan ponselnya. Tak perduli dengan Zean yang menatap dirinya kesal. "Cepet jalan!" Titah Fania tak tahu diri.
Zean mendengus kesal. Tak ayal ia tetap menjalankan mobilnya walaupun sedikit terpaksa. Berusaha tersenyum sangat manis, mengingat di sampingnya adalah pujaan hatinya.
Tak terasa kini mereka telah sampai di restoran yang di tuju. Berdiri berdampingan menatap pada bangunan restoran yang namanya terpampang apik di atas sana. 'ZEAN'S' nama restoran Zean, yang ia bangun dari hasil jerih payahnya sendiri.
Fania sedikit terkekeh dengan nama yang terpajang disana. Membuat seseorang di sebelah nya sedikit menyengrit dan memandang ngeri pada dirinya. "Kerasukan Lo?"
"Mata Lo!"
Zean mendahului, melangkah kan sepasang kakinya memasuki restoran itu, meninggalkan Fania yang menggerutu di belakangnya. Keadaan restoran masih sangat sunyi, di karenakan masih sangat pagi. Karyawan pun baru beberapa orang saja. Karyawan Zean terdiri dari delapan orang.
"Ehh, halo pak bos." Gadis dengan bandana merah di kepalanya itu terlihat menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga seusai menyapa Zean yang notabene adalah bos nya.
Zean hanya membalas dengan anggukan kepala juga senyum tipis. Gadis itu membuat senyum malu-malu. Zean lalu melanjutkan langkahnya, sebelum bahunya tiba-tiba sengaja di senggol oleh seseorang.
Ia menatap Fania bertanya, Fania hanya melengos, meninggalkan dirinya yang menatap binggung. Entah gerangan apa yang membuat Fania seperti itu, ia pun tidak tahu. Biarlah Fania berulah, ini masih sangat pagi. Pikir Zean.
"Kumpul dulu, yuk. Saya mau nyampein sesuatu." Ucap Zean sedikit keras. Membuat para karyawan yang terdiri dari 6 perempuan dan 2 laki-laki langsung menyengrit, tak ayal, mereka tetap berjalan menuju Zean dan membuat barisan.
Gadis berbandana itu menatap bertanya pada seseorang yang berdiri di sebelah Zean. Terlihat sangat akrab, karena Zean merangkul bahu Fania, Fania menampilkan ekspresi sangat terpaksa, membuat tanda tanya besar oleh para karyawan. Tidak biasanya Zean datang dengan perempuan, apalagi setahu mereka, Zean tak mempunyai pasangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life!
General Fiction"Kapan ayah pulang, Ibu?" "Kamu gak pernah nyusahin kakak, Famia!" "Kita gak butuh peran kalian! Aku benci kalian" "Lo sahabat terbaik gue, Mauren. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun." "Jangan tinggalin kakak, Dek! "Gue takut kehilangan Lo...