Haechan sudah berusaha sekuat yang dia mampu untuk tetap fokus melakukan pekerjaannya, mencoba membaca dokumen penting yang mesti dia teliti. Ia bahkan juga sudah meminta Sungchan untuk membawakannya teh, agar lebih dapat rileks. Namun, dirinya masih tidak dapat berkonsentrasi dengan benar. Karena saat ini di pikirannya hanya ada nama Renjun dan Renjun.
Isi pikiran laki-laki tan itu dipenuhi keheranan atas sikap Renjun yang beberapa minggu ini sangat aneh dan berubah drastis. Renjun yang awalnya sering bersikap sungkan dan malu-malu seperti kucing, kini sudah tidak. Apalagi saat Renjun memanggilnya dengan panggilan Mas. Haechan masih tidak biasa tapi dia mencoba untuk terbiasa.
Lelaki yang memiliki nama lengkap Jung Haechan itu mencoba untuk berpikir rasional. Mungkin saja karna efek hormon pada kehamilan yang membuat sikap Renjun berubah.
Haechan melepaskan kacamata yang semula bertengger apik di wajahnya, lalu ia usap kasar dan menghela napas berat.
"Kau terlihat tidak baik, seperti sedang stress. Aku benar, bukan?"
Haechan mengalihkan pandangannya pada orang yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.
"Ada apa dengan mu, wahai Jung Haechan tersayang?" tanyanya
"Untuk apa kau kemari, Jeno?"
Jeno langsung mendudukan diri di sofa empuk yang letaknya berseberangan dengan meja Haechan.
"Jawab dulu pertanyaanku"
Haechan mengacuhkan Jeno begitu saja, tak minat menjawab pertanyaan dari pria manis bermata bulan sabit itu. Ia kembali memakai kacamatanya dan melanjutkan melakukan pekerjaan. Terlalu malas meladeni sang sepupu.
"Apa soal, Renjun?"
Pergerakan tangan Haechan yang tadinya akan membalik lembar kertas dokumen lantas terhenti.
"Jika kau diam, maka artinya aku benar" sambung Jeno
"Jika aku boleh jujur, awalnya aku sangat marah padamu setelah mendengar cerita langsung darinya waktu itu. Mendengar jika ia hanya hidup berdua dengan adiknya dalam keterbatasan. Dan kontrak mu itu membuat mereka terpisah meski kau memang membiayai kehidupan keduanya. Aku kagum, karna dia sangat bertanggung jawab dengan perannya sebagai kakak, sampai rela mengorbankan diri untuk melalukan kontrak denganmu"
Haechan setia mendengarkan sembari menatap sepupunya yang kini berjalan menuju jendela kaca besar di ruangannya, menampilkan pemandangan kepadatan ibu kota seoul.
"Kau sudah tinggal bersama satu atap dengannya dalam jangka waktu yang menurutku.. sudah lumayan lama. Paling tidak, kalian sudah sedikit mengenal sifat satu sama lain. Jujur saja, aku menyukai sifat Renjun. Sangat sederhana dan memiliki tata krama"
Jeno menarik napas sejenak dan melanjutkan perkataannya.
"Haechan, Apa kau tidak mau membuka hatimu untuk membiarkan orang lain masuk? Jangan menutup hati karna aku. Jangan memikirkan atau pun membayangkan hal yang sebenarnya mungkin tidak akan terjadi padamu. Jangan sampai kau mematikan hatimu dan membatasi diri dari perasaan sendiri"
Jeno memutar tubuh untuk menghadap Haechan yang sedari tadi memperhatikannya.
"Jujur saja padaku, apa kau tidak tertarik padanya sedikit pun? Papi juga sangat menyukai Renjun setelah bertemu dengannya. Jadi, apa yang kau tunggu? Aku sangat mendukung jika akhirnya Renjun adalah orang yang memang di pilih" tutur Jeno panjang lebar
"Perjanjian tetap perjanjian, Lee Jeno. Kesepakatan yang kami buat adalah mutlak. Kontrak hitam di atas putih sangat memegang teguh prinsip dan aku tidak ingin mengubahnya"
Jawab Haechan tegas, sedangkan Jeno menertawainya dengan kekehan sinis.
"Memegang teguh suatu prinsip memang bagus, tetapi jangan sampai kepala mu keras seperti batu"
"Aku tidak ingin kau telat menyadari semuanya"
Haechan mendengus, Jeno benar-benar mengganggu.
"Lebih baik kau pulang" ucap Haechan yang membuat Jeno kesal
"Kau mengusirku?!"
"Baguslah jika kau merasa"
Jeno berdecih tak terima. Saat hendak berjalan keluar, Jeno kembali membalikkan tubuh.
"Oh gara-gara melihat wajah jelek frustasimu itu aku jadi lupa dengan tujuanku kemari"
Haechan menaut alis menggambarkan kebingungan.
"Kau masih memberikan uang pada perempuan itu?"
Pertanyaan Jeno di balas anggukan oleh sepupunya.
"Kau terlalu memanjakannya, Haechan. Ia jadi bertindak sesukanya"
"Aku tidak keberatan, karna aku menyayanginya. Dia adik perempuanku, meskipun faktanya perempuan yang kau sebut itu adalah adik kandungmu. Dan dia memiliki nama, jadi sebut dia dengan namanya, Jeno"
"Cih, terserah. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengingatkanmu lagi, untuk tidak memanjakan Winter. Meski pun kau menganggapnya seperti itu, aku sangat tidak suka dengan sifatnya yang menghamburkan uang untuk bermain-main, apa lagi dengan kekasih sialannya itu!"
"Kau juga seorang kakak, kan? Maka berikan dia perhatian dan jaga adikmu dari lelaki bajingan" balas Haechan
"Ah sudah lah, aku malas berdebat dengan mu!"
Setelah Jeno keluar dari ruangannya, Haechan kembali terdiam. Ia mencerna semua kembali perkataan Jeno beberapa menit yang lalu.
Apakah yang sepupunya katakan itu benar? Haruskah dirinya mulai perlahan membuka hati, terlebih untuk Renjun?
Karena sejujurnya Haechan sendiri tidak ingin berada dalam sebuah hubungan. Ia tidak percaya cinta, itu hanya omong kosong.
Jatuh cinta adalah sebuah rasa sakit yang tertunda. Jika berani untuk jatuh cinta maka itu artinya harus siap kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Di Atas Putih [HYUCKREN]
FanfictionSebuah perjalanan antara dua insan yang terikat kesepakatan, keduanya menyetujui kesepakatan itu bersama untuk tujuan yang saling menguntungkan. Apakah benar saling menguntungkan kedua belah pihak atau ada salah satu pihak yang di rugikan? This st...