CHAPTER 07

42 9 0
                                    

Sekolah sering disebut sebagai rumah kedua, sebuah slogan yang diulang-ulang oleh seluruh warga sekolah. Namun, jika melihat kelas F-1 saat ini, mungkin sulit untuk percaya. Di kelas tersebut, sebagian besar murid justru tertidur, meskipun di depan mereka ada guru yang sedang mengajar.

Revan termasuk di antara mereka yang memilih tidur saat jam pelajaran berlangsung. Jika ada yang bertanya alasan, jawabannya sederhana: "Guru di depan bikin ngantuk." Ditambah lagi, guru yang sedang mengajar, Pak Kim, tampaknya tidak mempermasalahkan murid-muridnya tidur di kelas. Ini seolah menjadi keajaiban bagi murid-murid, tapi sebenarnya, Pak Kim punya maksud lain.

Pak Kim bukan benar-benar membiarkan murid-muridnya semena-mena. Dia tengah menguji mereka, khususnya mengenai kedisiplinan dan kesopanan. Namun, hasilnya sungguh mencerminkan masalah zaman; banyak murid yang memanfaatkan kebebasan ini untuk tidur, mengobrol, bahkan ada yang bolos. Zaman sekarang, mengatur murid-murid memang tidak mudah.

"Cukup sekian materi hari ini. Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan bertanya. Terima kasih sudah memperhatikan bapak. Selamat siang," ujar Pak Kim menutup pelajaran, meskipun tidak banyak yang benar-benar memperhatikannya.

Setelah Pak Kim pergi, kelas berubah menjadi hidup. Siswa-siswa langsung berbondong-bondong keluar kelas menuju kantin atau sekadar mencari udara segar. Revan terbangun dari tidurnya, merasa kantuknya hilang setelah tidur cukup lama.

"Semalam lo kemana, Van?" tanya Dipta, yang baru saja kembali ke kelas setelah bolos saat pelajaran Pak Kim.

Revan menerima kaleng soda yang disodorkan Dipta. "Ke rumah Bu Irma," jawabnya singkat.

Bu Irma adalah mantan pekerja di rumah Revan, seseorang yang sudah dianggapnya sebagai ibu kedua. Bu Irma telah bekerja di rumahnya sejak Revan berumur lima tahun, dan meskipun sudah berhenti bekerja sejak Revan berusia empat belas, mereka tetap menjalin hubungan baik. Bahkan, Revan sering menginap di rumah Bu Irma tanpa merasa canggung.

"Hoo.. Lo pasti mau ketemu Ana juga, kan?" sahut Alvin, menyindir.

Itu memang alasan lain Revan sering ke rumah Bu Irma. Rumah Bu Irma kebetulan bersebelahan dengan rumah Ana, mantan pacar Revan, yang sampai sekarang masih mengisi hatinya.

"Lo belum move on, ya? Gue dengar-dengar, Ana udah punya yang baru, tuh," lanjut Dipta, memancing.

Revan menarik napas dalam. Berarti benar kabar tentang Ana dan Gala? Dia tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya. Meski Ana sudah bersama orang lain, hati Revan masih penuh dengan kenangan tentang gadis itu. Bagaimana mungkin dia bisa move on jika Ana masih memiliki tempat istimewa di hatinya? Melupakan gadis itu terasa seperti misi yang mustahil.

"Gue semalam sempet ke rumah lo, tapi sodara lo ada di sana. Pantesan lo gak di rumah," ujar Dipta, seolah mencoba mengalihkan topik.

"Kalian masih musuhan?" Alvin menimpali, mengacu pada ketegangan antara Revan dan saudaranya.

Revan meneguk sodanya tanpa menjawab. Dia tak tertarik membahas masalah itu. Sementara itu, Dipta dan Alvin saling melirik, tahu bahwa diamnya Revan sudah memberikan jawabannya.



✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧





"Sumpah Jiss, gue kesel banget sama Revan!" seru Zeya dengan wajah kesal. Ia sedang duduk di kantin sekolah bersama kedua sahabatnya dan Kinan, pacar Chenzi, yang ikut bergabung.

"Udah, nanti aja ngeluh soal Revan-nya. Mending lo makan dulu bakso lo. Keburu dingin, tuh." Jissa menyodorkan semangkuk bakso ke hadapan Zeya.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang