CHAPTER 37

14 6 0
                                    

Senja mulai turun ketika Revan, yang sudah mengganti seragamnya dengan pakaian kasual, duduk di balkon apartemennya. Sambil memetik gitarnya, ia menikmati pemandangan langit oranye di ujung cakrawala.

Ting!

Teleponnya berbunyi. Notifikasi dari nomor tak dikenal muncul.

| 085xxxxxxx
*send a picture
Cewek lo bakal mati di tangan gue.

Revan menegang. Foto itu memperlihatkan Zeya yang terlihat tak berdaya, membuat darahnya mendidih. Tanpa berpikir panjang, ia berdiri dan segera menuju mobilnya. Dalam perjalanan, ia menghubungi beberapa temannya yang memiliki koneksi untuk mencari tahu lokasi Zeya.

Tak lama, salah satu temannya mengirimkan pesan singkat. "Lokasinya terdeteksi di gudang tua di daerah pinggiran kota."

"Thanks. Gue bakal ke sana sekarang," jawab Revan tegas.

Revan langsung melajukan mobilnya ke arah lokasi tersebut. Namun, tiba-tiba ia menyadari mobil hitam berada di belakangnya, mengikuti setiap gerakannya. Jalanan yang sepi memberi kesempatan mobil itu untuk mendekat, berusaha memepet mobil Revan.

"Jangan harap gue berhenti," gumam Revan, mempercepat laju mobilnya.

Mobil hitam itu terus mencoba menggiringnya keluar jalur. Hingga akhirnya, Revan terpaksa mengambil jalan kecil yang lebih sepi. Ia berdecak kesal, menyadari bahwa jalan itu seakan jebakan.

Di depannya, sebuah truk kontainer muncul, melaju ke arahnya. Revan segera menginjak rem, tapi—

"Sial! Rem gue nggak berfungsi!" serunya panik.

Dengan cepat, Revan membanting setir ke kiri untuk menghindar. Namun, mobilnya malah bertabrakan dengan mobil hitam yang membuntutinya. Kecelakaan tak terhindarkan. Mobil Revan menabrak dengan keras, menyebabkan kerumunan pejalan kaki di sekitar berdatangan.

Salah satu dari mereka menelpon ambulans. "Halo? Ada kecelakaan di sini, orangnya terluka parah!"

Di tengah kesadarannya yang semakin menipis, Revan berbisik dalam hati. "Zeya.. tunggu gue." Pandangannya memudar, sementara suara sirene ambulans mulai terdengar di kejauhan.

✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧



Esha melangkah ke kamarnya dengan penuh kepuasan. Setelah memastikan pesan ancamannya terkirim ke Revan, ia tersenyum puas. Meskipun tahu hubungan mereka sudah berakhir, Esha tetap keras kepala. Obsesi pada Revan menguasainya; siapa pun yang menghalanginya harus disingkirkan.

Dengan tenang, ia menyalakan musik klasik dan membawa segelas anggur ke balkon. Namun, suara yang tak diduganya tiba-tiba menyapa dari belakang.

"Seru ya, main culik-culik orang?"

Esha terkejut, gelas di tangannya jatuh ke lantai. Di sofa, Zeya duduk santai dengan tatapan penuh arti. Esha tak percaya apa yang dilihatnya.

"G-Gimana lo bisa lolos?" tanyanya gemetar.

Zeya berdiri sambil tersenyum santai. "Hmm... gimana, ya? Anak buah lo lemah-lemah semua. Sekali pukul langsung tumbang."

Wajah Esha sejenak menegang, tapi ia segera tersenyum sinis. "Lo sadar, kan? Masuk ke sini sama aja bunuh diri."

Alih-alih gentar, Zeya malah tersenyum dan mengangguk. "Gue tahu. Tapi ini lebih mudah buat gue. Karena sebentar lagi, lo bakal ditangkap, Esha. Atau lebih tepatnya, Theresha Lowwin, tersangka pembunuhan murid beasiswa di Volanz."

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang