CHAPTER 14

25 6 0
                                    

Zeya keluar dari kamarnya setelah mencuci muka dan menggosok gigi. Hari ini, sekolah diliburkan karena kepala sekolah tengah berduka. Semua guru pergi takziah ke rumahnya. Merasa bosan, Zeya memutuskan untuk berkunjung ke unit Jaziel. Setelah dua kali menekan bel, pintu terbuka, menampakkan Jaziel yang masih mengenakan apron.

"Pagi, Ziel," sapa Zeya dengan senyum ramah.

"Selamat pagi," jawab Jaziel, mempersilakan Zeya masuk.

Zeya mengikuti Jaziel yang menuju ke arah dapur. Ternyata Jaziel tengah membuat sarapan. Zeya lalu duduk di kursi bar sementara Jaziel kembali dengan kegiatan memasaknya.


"Lo masak apa?" tanya Zeya.

"Lontong sayur," jawab Jaziel, tanpa mengalihkan pandangan dari panci.

Zeya mengangguk-angguk. Jaziel memang pandai memasak. Zeya sendiri merasa sedikit insecure, karena dia hanya bisa memasak beberapa menu sederhana. Namun, kalau soal membuat dessert, Zeya jagonya—asal tidak sedang malas gerak.

Tak lama kemudian, mereka duduk di meja makan, menyantap lontong sayur buatan Jaziel. Zeya mengakui bahwa cita rasa masakan Jaziel selalu pas di lidahnya.

"Lo mending buka restoran deh, Ziel. Masakan lo udah kayak chef profesional!" puji Zeya.

Jaziel tertawa kecil. "Gue cuma ngikutin resep mendiang nyokap, Zey."

Zeya menghentikan kunyahannya. "Justru itu! Mendiang nyokap lo kan dulu chef, Ziel. Jadi, lo cocok banget buat nerusin jejaknya."

Jaziel tampak berpikir sebentar sebelum menggeleng. "Nggak deh, Zey. Masak itu cuma hobi buat gue. Gue nggak terlalu tertarik jadi chef," jawabnya sambil tersenyum.

Zeya menghela napas. "Sayang banget. Kalau lo buka restoran, kan gue bisa nikmatin masakan lo tiap hari."

Jaziel tertawa kecil sambil mengusap kepala Zeya. Meja yang tak terlalu lebar membuatnya mudah melakukan itu. "Tenang aja, gue bisa masakin lo tiap hari kok. Kita kan sepupuan, lo lupa?"

Zeya terdiam sejenak, lalu tersenyum cengengesan. Benar juga, ia hampir lupa akan hal itu. Mereka pun melanjutkan makan dengan lebih santai.


✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧



Siang harinya, Zeya memutuskan untuk mengajak Ana bertemu. Ada banyak hal yang perlu ia tanyakan, terutama tentang Revan, atau mungkin hubungan Ana dan Revan di masa lalu.

Setelah merapikan rambutnya, Zeya merasakan ada yang ganjil. Saat meraba lehernya, ia tidak menemukan liontin yang biasa menggantung di sana. Panik, Zeya langsung mengobrak-abrik kamarnya, namun hasilnya nihil. Liontin itu tidak ada di mana pun.

"Perasaan gue nggak pernah lepas tuh liontin. Di mana ya? Masa gue lupa naruh?" gumam Zeya kebingungan.

Sejak menemukan liontin itu dulu, Zeya memang tidak pernah melepaskannya. Jadi, rasanya mustahil liontin itu terlepas begitu saja. Karena waktu yang terbatas, Zeya akhirnya memutuskan untuk langsung pergi dan mengirim pesan kepada Jaziel dan Revan, siapa tahu liontinnya terjatuh di tempat mereka.

Setelah hampir dua puluh menit mengendarai mobil, Zeya sampai di sebuah kafe dengan nuansa hijau. Ia segera masuk dan melihat Ana yang melambaikan tangan dari meja di pojok. Zeya pun menghampiri Ana.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang