CHAPTER 25

27 6 0
                                    

Suara alat musik menggema di seluruh ruangan, memenuhi suasana dengan ritme yang tak sempurna. Para anggota band fokus dengan partitur di hadapan mereka, meski beberapa masih kesulitan menguasai instrumen masing-masing. Namun, semangat mereka tetap ada, termasuk Zeya, yang baru bergabung sebulan lalu dan tengah berusaha menyeimbangkan dirinya dengan teman-teman ekskulnya. Dia sedang belajar menjadi gitaris untuk band sekolah mereka, meskipun keterampilannya masih jauh dari sempurna.

Ekskul musik ini tidak terlalu banyak diminati. Dua tahun lalu, sebuah skandal besar menimpa ekskul tersebut, meskipun Zeya tak tahu persis apa yang terjadi. Baginya, yang penting adalah menyalurkan hobinya meskipun ia sadar dirinya tak sehebat musisi di luar sana.

Prang!

Zeya terkejut mendengar suara benda jatuh. Ia menoleh dan melihat Azka, drummer band mereka, melempar stik drumnya dengan kesal. Semua orang langsung memperhatikan Azka, termasuk Cakra, vokalis utama mereka, yang segera menghampiri Azka.

"Lo kenapa?" tanya Cakra dengan nada prihatin.

Azka bukannya menjawab Cakra, malah berjalan langsung ke arah Zeya dengan wajah marah. "Lo bisa main gak, sih? Udah sebulan lo di sini, tapi skill lo masih kayak pemula. Lo mau hancurin ekskul kita?" ucap Azka dengan nada tajam.

Zeya menaikkan alisnya, tak terima. "Gue mungkin belum jago, tapi setidaknya gue udah ngikutin ritme kalian, kan? Sebelumnya lo juga gak masalah sama cara gue main, kenapa sekarang lo permasalahin?" balas Zeya, membela diri.

"Karena sebelum ini gue masih bisa maklumin, tapi sekarang udah enggak. Gue muak satu tim sama lo," jawab Azka, membuat keempat anggota lain terkejut dengan kemarahannya.

Cakra, mencoba menenangkan situasi, mendekati Azka dan menepuk bahunya. "Azka, lo kalo ada masalah, mending tenangin diri dulu. Jangan langsung nyalahin orang lain. Zeya baru gabung, wajar kalo dia belum bisa sepenuhnya ngimbangin kita," ujar Cakra dengan nada bijak.

Namun, Azka tak mau mendengar. Pandangan matanya masih menusuk ke arah Zeya, membuat suasana semakin tegang. Zeya, merasa situasi semakin buruk, akhirnya meletakkan gitarnya. Tanpa berkata apapun lagi, dia melepas pin ekskul musik yang menempel di seragamnya—pin yang menjadi akses masuk ke ruang musik.

"Gue keluar. Makasih buat satu bulannya," ucap Zeya dengan datar, menyerahkan pin tersebut ke tangan Cakra. Tanpa berpamitan lebih lanjut, ia berjalan keluar dari ruangan, mengabaikan teriakan Cakra yang memanggil namanya.

Baginya, tak ada gunanya bertahan di tempat di mana seseorang membencinya. Lebih baik pergi daripada terus-terusan menghadapi Azka yang tampak tak menyukainya. Dengan cepat, Zeya melangkah menuju parkiran dan membuka pintu mobilnya. Tapi sebelum sempat masuk, seseorang menarik lengan kirinya. Tubuhnya tersentak ke belakang hingga bertubrukan dengan dada bidang seseorang.

Zeya mendongak, mendapati Revan di depannya, masih berkeringat setelah bermain basket. Jersey yang masih melekat di tubuhnya memperlihatkan bahwa cowok itu baru selesai bermain.

"Kenapa?" tanya Zeya heran.

"Lo ngehindarin gue," jawab Revan dingin, menatapnya tanpa ekspresi.

"Perasaan lo aja kali. Kita memang jarang ketemu akhir-akhir ini," balas Zeya, berusaha tenang.

Namun, tatapan dingin Revan tak berubah. Zeya mulai merasa terintimidasi, meskipun ia sudah cukup terbiasa dengan sikap Revan yang seperti ini. Meski terasa menyeramkan, Zeya tetap berusaha melawan rasa tidak nyaman itu.

"Nanti malam, gue tunggu di rumah pohon," ucap Revan singkat, lalu berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dari Zeya.

Zeya hanya memandang punggung Revan yang semakin menjauh. "Dipikir gue bakal datang? Gak bakal," gumamnya, lalu masuk ke mobil, merasa semakin bingung dengan perasaan dan situasinya.






Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang