CHAPTER 32

18 6 0
                                    

Hari libur setelah ujian adalah momen yang paling dinanti oleh para murid, terutama libur kenaikan kelas yang kali ini berlangsung cukup panjang—empat minggu penuh. Sementara banyak temannya memilih pergi berlibur keluar kota atau bahkan ke luar negeri, Zeya justru menghabiskan waktunya di sebuah kafe milik Tante Elly. Bukan untuk bersantai, tapi untuk membantu sebagai barista. Dengan keluarganya yang pergi, Zeya merasa bosan di rumah, jadi ia memutuskan untuk menerima ajakan Tantenya untuk membantu di kafe.

Pagi tadi, kedua orang tuanya berpamitan untuk perjalanan bisnis sang Papa, sementara adiknya, Haren, pergi mendaki gunung bersama teman-temannya.

"Zey, tolong anterin pesanan ini ke meja nomor empat belas, ya?" panggil Tante Elly dari balik counter.

"Siap!" jawab Zeya dengan semangat.

Dengan segera, Zeya membawa nampan berisi secangkir espresso menuju meja nomor 14. Setibanya di sana, ia meletakkan cangkir di atas meja sambil berkata, "One espresso, selamat menikmati."

Namun, ia terkejut ketika mendongak dan mendapati siapa yang duduk di meja itu. "Ezra?" ucapnya, sedikit tak percaya.

Ezra tersenyum, "Zeya? Gue kira gue salah liat tadi."

"Oh, hai. Lo sendirian aja?" tanya Zeya, mencoba mengatasi kecanggungan.

"Seperti yang lo lihat," jawab Ezra santai.

Zeya mengangguk. "Kalau gitu gue balik dulu ke dapur."

"Bisa temenin gue sebentar?" pinta Ezra tiba-tiba.

Zeya menghela napas, sedikit ragu, tapi akhirnya ia menarik kursi di depannya dan duduk. Ia menyerahkan nampan kosongnya pada seorang waiters yang kebetulan lewat. Ezra tersenyum, puas karena Zeya menuruti permintaannya.

"Ngapain senyum-senyum? Jelek!" ledek Zeya, mencoba mencairkan suasana.

Ezra menaikkan sebelah alisnya dengan percaya diri. "Bilang aja lo terpesona sama senyum gue," ucapnya sambil menyeruput espresso.

Zeya mendengus pelan. "Enggak, ya. Kalau ngeliat senyum lo, gue jadi keinget betapa tololnya gue dulu."

Ezra terdiam sejenak, tatapannya berubah serius. "Gue dulu nyakitin lo banget ya, Zey?"

Zeya menatap Ezra dengan sedikit sinis, "Menurut lo?"

Ezra menghela napas berat. "Sorry."

Zeya tersenyum kecil. "Iya, udah. Gak usah minta maaf lagi, udah lewat juga."

Ezra tampak lega, tapi kemudian ia berkata, "Lo tau kan gimana bokap gue dulu? Gue nggak bisa nerima cinta lo karena gue takut lo bakal terluka. Gue takut jadi seperti bokap gue yang ngelukain Bunda. Tapi, gue ternyata tetep nyakitin lo, ya?"

Zeya, yang tadinya bersikap dingin, mendadak menggenggam tangan Ezra yang terkepal di atas meja. Ezra terlihat kaget dengan gestur itu.

"It's okay. Kayak yang gue bilang tadi, yang berlalu biarlah berlalu. Lo bukan bokap lo, Ezra. Kalian dua orang yang berbeda. Gue dulu suka sama lo karena lo baik, perhatian, dan manis. Walaupun lo terkesan cuek sama cewek, itu gak bikin gue berubah pikiran."

Ezra tertegun, tidak menyangka Zeya masih bisa berkata demikian setelah apa yang ia lakukan. Perasaan hangat menyelinap di hatinya. Revan sangat beruntung bisa memiliki Zeya. Diam-diam, Ezra merasa iri pada saudara tirinya itu.

"Oh iya, soal Celsa. Lo nggak mau jelasin?" tanya Zeya tiba-tiba, mengalihkan topik.

Ezra mengangkat bahu. "Gue pacaran sama dia cuma karena Dare dari temen-temen gue."

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang