CHAPTER 26

37 5 0
                                    

Seminggu berlalu, dan interaksi Zeya dengan Revan kembali seperti biasa. Mereka masih berstatus sebagai pasangan, tetapi pertemuan semakin jarang terjadi. Bukan karena Zeya menghindar lagi, melainkan karena Revan yang sibuk berlatih basket untuk acara Dies Natalis, sehingga sulit ditemui.

Hari ini, Zeya berjalan melewati koridor kelas sepuluh, menuju parkiran. Seperti kebiasaannya, Zeya lebih suka menunggu hingga sekolah sepi sebelum pulang. Meski begitu, masih banyak siswa yang sibuk dengan kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler, menjadikan sekolah seperti rumah kedua bagi mereka.

"Zeya!" terdengar seseorang memanggilnya dari belakang. Zeya menoleh dan melihat Jeffrey melambaikan tangan.

Jeffrey segera menghampirinya. "Lo gak ekskul?" tanyanya.

Zeya menggeleng. "Gue udah keluar. Lo sendiri?"

"Ini, mau kumpul di ruang meeting dulu. Kenapa keluar ekskul lagi?" Jeffrey bertanya dengan nada heran.

Zeya sudah tiga kali berganti ekskul. Pertama, ia ikut KIR saat kelas 10 karena Jissa, temannya, juga ikut. Namun, belum genap dua bulan, Zeya mengundurkan diri. Kedua, ia mencoba ekskul life skill, tetapi tidak cocok dengan teman-teman di sana. Terakhir, ia bergabung dengan ekskul musik karena minatnya pada gitar, meski ada rumor tentang ketidaksukaan seseorang di sana terhadapnya.

Jeffrey tertawa kecil mendengar cerita Zeya. "Sekarang lo ngerti kan, kenapa ekskul musik gak diminati? Karena Azka itu orangnya sensian, suka nyari kesalahan orang lain."

Zeya mendengus sebal, mengabaikan tawa Jeffrey.

"Ngomong-ngomong, hubungan lo sama Revan gimana? Ada perkembangan?" tanya Jeffrey, mengalihkan topik.

"Kepo lo. Udah sana ke ruang meeting, gue mau pulang," balas Zeya, berbelok ke arah parkiran. Ia tidak menggubris teriakan Jeffrey yang memanggilnya lagi.

Saat tiba di parkiran, Zeya mencari kunci mobil di dalam ranselnya, namun tidak menemukannya. "Sial, jangan-jangan ketinggalan di kelas," gumamnya sambil bergegas kembali ke gedung sekolah.

Setelah melewati beberapa lorong dan tangga, Zeya akhirnya menemukan kunci mobilnya di dalam kelas. Beruntung, kelas belum dikunci oleh satpam, sehingga ia bisa mengambilnya dengan cepat.

Namun, saat hendak berbelok, Zeya tiba-tiba merasakan sensasi dingin. Air tumpah mengenai sebagian seragamnya, membuatnya basah kuyup. Ia menoleh dan melihat dua siswi yang tampak panik.

"K-kak, maaf! Kami gak sengaja," salah satu siswi yang membawa ember segera menghampiri Zeya, terlihat gugup.

Zeya menghela napas panjang. "Lain kali hati-hati," katanya, sebelum berlalu meninggalkan mereka yang masih berdebat di belakang.

Di toilet, Zeya merapikan seragamnya dan mengelap wajah serta tangan menggunakan tisu. Sayangnya, seragam putihnya masih terlihat basah karena ia tidak memakai blazer.

Saat hendak keluar dari toilet, Zeya mendengar langkah kaki mendekat. Awalnya, ia ingin segera pergi, tetapi suara yang familiar menghentikan niatnya. Zeya memilih masuk ke salah satu bilik toilet dan mengunci pintunya.

"Hahaha, gila banget lo, Na. Bisa-bisanya bikin cowok itu gamonin lo berminggu-minggu," terdengar suara seorang siswi.

"Siapa sih yang nolak pesona gue? Bahkan Gala yang awalnya sok dingin sekarang jadi bucin," sahut siswi lainnya, yang tak lain adalah Ana, seseorang yang Zeya kenal sebagai sosok bermuka dua.

Zeya mendengarkan percakapan mereka dengan saksama. Kedua siswi itu tidak sadar bahwa Zeya berada di bilik toilet, menguping obrolan mereka.

"Terus, gimana Revan? Katanya dia udah tau," tanya temannya.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang