CHAPTER 35

111 9 0
                                    


karena manusia tidak bisa menebak-nebak apa yg akan terjadi, juga tidak punya kuasa untuk mengatur tatanan kehidupan, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menghargai. ❜

- • • • -

Di bawah langit yang kelabu, Ezra dan Zeya melangkah memasuki gedung besar bertuliskan "RS. Jiwa Harmoni" Tempat itu terasa sepi dan sunyi, meski sesekali terdengar suara samar-samar dari lorong. Ezra, dengan wajah serius, berjalan di depan, sementara Zeya mengekor di belakang dengan perasaan was-was.

"Lo yakin ini keputusan yang tepat?" bisik Zeya, suaranya nyaris tenggelam di keheningan.

Ezra berhenti, menoleh menatap Zeya sejenak. "Lo tenang aja, Gue harus dapetin tanda tangan dari Ayah, apapun risikonya"

Ardo, ayah kandung Ezra, telah dirawat di rumah sakit jiwa ini hampir dua tahun. Semua bermula setelah Ardo melukai ibu Ezra menggunakan vas bunga, membuat wanita itu harus dilarikan ke rumah sakit. Sejak kejadian itu, Ezra memilih untuk memasukkan ayahnya ke sini agar tak ada lagi yang terluka. Cukup Ezra yang menahan beban luka itu, dia tak akan membiarkan ibunya menjadi korban lagi.

Ezra membuka pintu salah satu kamar. Begitu melangkah masuk, kerah leher bajunya langsung ditarik keras oleh seorang pria paruh baya dengan mata yang penuh amarah.

"Keluarkan aku dari sini, anak sialan!" geram Ardo, mencengkeram Ezra dengan kuat.

Zeya menahan napas, panik melihat amukan Ardo. Dia ingin membantu, tapi ragu berhadapan langsung dengan ayah Ezra yang tampak beringas.

Ezra tersenyum sinis. "Enggak! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah keluarin Anda dari sini."

Ardo merespons dengan pukulan keras ke pipi Ezra, membuat sudut bibirnya berdarah. Dengan tangan yang masih dalam proses pemulihan, Ezra kesulitan melawan. Zeya hanya bisa terpana melihat keberanian Ezra menghadapi ayahnya.

Ezra cepat-cepat menyambar dokumen yang dibawa Zeya. "Cepat tanda tangani surat ini, dan urusan kita selesai!" desaknya.

Ardo terkekeh kasar, dipenuhi kebencian. "Kau memang anak sialan!"

Kemarahan Ardo semakin meledak, menyerang Ezra lebih brutal. Ezra, yang kesulitan menahan serangan, hanya bisa menghindar sekuat tenaga sambil melindungi dirinya. Teriakan kasar Ardo menggema di ruangan.

"KAU DAN IBUMU MEMANG SIALAN! DASAR ANAK HARAM! KELUARKAN AKU ATAU KUBUNUH KAU!"

Untungnya, beberapa perawat pria segera masuk, menahan Ardo yang meronta-ronta. Zeya buru-buru membantu Ezra bangkit.

Di tengah kekacauan itu, Ezra meraih cap dan dengan bantuan perawat, menempelkan cap pada ibu jari Ardo. Setelah berhasil menandatangani dokumen, dia berlalu bersama Zeya, meninggalkan ayahnya yang terus melontarkan makian di belakang mereka.

"Jangan sampai dia keluar dari sini," pesan Ezra pada perawat sebelum pergi.

Di mobil, Zeya berdecak sebal sambil melirik wajah Ezra yang penuh luka.

"Lo seneng banget cari masalah, ya?" sindirnya.

"Tangan gue sakit, Zey. Mana bisa gue ngelawan," Ezra menjawab santai.

"Udah tau bokap lo kalau lihat lo pasti pengen gebukin, eh, malah disamperin," omel Zeya, masih tak habis pikir.

Ezra tertawa kecil, geli melihat kekhawatiran Zeya. "Iya, ini juga terakhir kalinya gue ketemu dia."

"Emang itu tadi surat apaan?" tanya Zeya penasaran.

"Surat pengalihan kepemilikan perusahaan. Gue baru bisa dapet itu kalau udah kelas dua belas. Jadi gue harus lakuin ini sekarang."

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang