CHAPTER 21

32 6 0
                                    

Revan menghentikan mobilnya di depan gerbang yang tinggi dan megah, lalu melirik gadis di kursi penumpang, Esha. Tangannya mencengkeram setir erat, berusaha menahan emosi yang menggelegak.

"Thanks, Van. Mau mampir dulu nggak?" tanya Esha dengan senyum yang manis, meski ada nada manipulatif di baliknya.

"Enggak, makasih," jawab Revan dengan nada dingin.

Esha, tanpa merasa tersinggung, justru mendekat, berusaha menyentuh Revan. Namun, Revan segera menjauh, membuat Esha mendengus sebal.

"Kok lo sekarang sok suci gitu sih? Dulu waktu kecil kita sering cium pipi satu sama lain, kan?" goda Esha, mengingatkan masa kecil mereka.

Revan menatapnya tajam. "Lo bisa bedain masa kecil sama sekarang, kan? Jelas beda. Gue muak sama lo, Esha. Lo terlalu obses sama gue," ujarnya dengan dingin.

Esha mendengus. "Lo berubah. Mana Revan yang gue kenal dulu? Jangan-jangan pacar lo itu, si Ana, yang bikin lo berubah gini, ya? Pasti dia yang manipulasi pikiran lo buat benci gue. Dasar cewek—"

"Esha, shut up!" bentak Revan.

Esha memutar bola matanya dengan jengah. "Liat tuh, sekarang lo jadi kasar sama gue. Bokap lo aja benci sama Ana, tapi lo masih bela dia? Cih, harusnya gue bikin dia cacat aja sekalian."

Bangsat!

Revan tak lagi bisa menahan emosinya. Dengan cepat, ia membuka pintu mobil dan keluar, membanting pintunya dengan keras. Berbicara dengan Esha hanya membuatnya semakin marah, terutama ketika gadis itu terus menerus menyeret nama Ana ke dalam percakapan. Daripada berlama-lama dengan Esha, Revan memilih pergi.

"HEY, REVAN! LO MAU KEMANA?" teriak Esha, tapi Revan tak menghiraukannya.

Sebuah mobil berhenti di samping Revan. Itu Alvin. Revan memang sudah meminta Alvin untuk menjemputnya. Tanpa bicara, Revan masuk ke mobil dan Alvin melajukan kendaraannya tanpa bertanya apa-apa, paham betul bahwa sahabatnya sedang berada di puncak amarah.

Setibanya di rumah, Revan langsung masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, saat baru melangkah masuk, ia harus berhadapan dengan Ezra, saudara tirinya, yang langsung menyindir dengan nada sinis.

"Kalau pacar lo tahu lo sering jalan sama Esha, gimana reaksi dia, ya?"

"Bukan urusan lo, Ezra," balas Revan datar.

Ezra, yang sudah menjadi saudara tirinya sejak dua tahun lalu, selalu punya cara untuk membuat Revan semakin marah. Pernikahan ayah Revan dengan ibu Ezra saat ia kelas sembilan SMP sudah membuat Revan marah. Meski perlahan bisa menerima ibu Ezra, rasa benci terhadap Ezra tetap tak bisa hilang, terutama karena ayahnya sering memuji prestasi Ezra tanpa pernah memberi pengakuan yang sama untuk Revan, meski ia selalu menjadi yang terbaik di sekolah.

Ezra mendekati Revan dengan tatapan penuh kebencian. "Mending lo putusin Zeya," ucapnya dingin.

Revan menyeringai. "Kenapa? Lo takut Zeya bakal berpaling dari lo? Kayaknya dia udah jatuh cinta sama gue, tuh."

Ezra mengepalkan tangannya, lalu mencengkram kerah jaket Revan dengan keras. Revan hanya tersenyum dingin, tidak sedikitpun melawan.

"Kalau lo pacarin Zeya cuma buat bales dendam ke gue, mati lo, bangsat!" teriak Ezra sebelum melepaskan cengkramannya dengan kasar, membuat Revan terhuyung sedikit ke belakang.

Alih-alih marah, Revan malah tertawa kecil. "Kalau lo emang suka sama dia, kenapa lo sia-siain dia?" ejeknya, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban Ezra.

Revan masuk ke kamarnya, emosi masih menguasainya. Biasanya, jika ia merasa seperti ini, ia akan pergi ke rumah Ana untuk menenangkan diri. Namun, sekarang Ana bahkan tak ingin bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Ia menyesali keputusannya memutuskan Ana dengan begitu cepat, hanya karena masalah dengan ayahnya. Sekarang, satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang sudah menjauh.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang