CHAPTER 24

43 7 0
                                    

Zeya keluar dari kelasnya setelah menyelesaikan ulangan Fisika, merasa lega setelah tiga hari berturut-turut disibukkan dengan ulangan harian. Selama hari-hari tersebut, ia jarang bertemu dengan Revan, bahkan komunikasi pun hampir tidak ada. Anehnya, Revan sama sekali tidak mencari Zeya.

Sudah beberapa kali Zeya mengirim pesan dan mencoba menelepon, tetapi tidak ada satu pun yang dibalas atau diangkat. Zeya mulai merasa jengah dengan situasi ini, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia ingin bertanya pada teman-teman Revan, namun jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, dan mereka kemungkinan besar sudah pulang.

"Kemana sih nih anak?" gumam Zeya, frustrasi karena Revan seperti hilang tanpa kabar.

Tak ingin pusing lebih lama, Zeya memutuskan untuk pergi ke Wins Café, tempat favoritnya yang terletak di depan sekolah. Café ini masih satu yayasan dengan SMA Xenon, jadi pengunjungnya kebanyakan adalah siswa-siswi Xenon.

"Mba, saya pesen Croffle sama Hot Caffe Latte satu, ya," ucap Zeya saat tiba di kasir.

"Baik Kak, silakan ditunggu sebentar," balas pegawai café ramah.

Setelah melakukan pembayaran menggunakan QRIS, Zeya memilih duduk di meja nomor 10 dekat jendela, spot favoritnya ketika sedang nongkrong di sini. Sambil menunggu pesanannya datang, Zeya mengeluarkan buku Fisika untuk mengerjakan tugas yang tenggat waktunya malam ini. Seperti biasa, Pak Anton tak pernah membiarkan muridnya hidup tanpa tugas.

Tak lama kemudian, pesanannya tiba. Zeya menutup bukunya dan menoleh keluar jendela, menyaksikan rintik hujan yang mulai turun, membuat orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Di momen seperti ini, tiba-tiba Zeya merasa merindukan Revan. Sayangnya, cowok itu tak bisa dihubungi.

"Gue boleh duduk di sini?"

Suara itu mengejutkan Zeya. Ia langsung menoleh ke depan dan menemukan sosok yang sudah akrab baginya-Ezra. Namun, sebelum Zeya sempat menjawab, Ezra sudah lebih dulu menarik kursi dan duduk di depannya, membuat Zeya mendengus kesal.

"Meja lain masih kosong, kenapa lo harus duduk di sini?" tanya Zeya, berusaha menahan nada kesalnya.

Ezra tersenyum santai. "Gue mau nemenin lo," jawabnya tanpa rasa bersalah.

Zeya hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian memutuskan untuk tidak menghiraukan Ezra dan fokus pada Croffle di depannya. Entah bagaimana Ezra bisa tahu keberadaannya di sini. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Zeya-rambut Ezra. Tidak ada lagi warna ash grey yang biasanya menjadi ciri khasnya. Sekarang, rambutnya sudah diwarnai hitam.

"Kenapa?" tanya Ezra, menyadari tatapan Zeya.

Zeya cepat-cepat menggeleng, menyembunyikan rasa penasarannya. Ezra lalu mengalihkan perhatiannya ke buku-buku yang tergeletak di atas meja, meraih salah satunya dan membukanya.

"Mau gue bantuin?" tawar Ezra, mengangkat buku itu.

Zeya dengan cepat merebut bukunya kembali. "Gak usah, gue bisa sendiri," tolaknya sambil memasukkan semua buku ke dalam tas. Bukannya ia meragukan kemampuan Ezra, tapi Zeya merasa ada yang aneh dengan sikap Ezra belakangan ini-terlalu perhatian, terlalu berbeda dari biasanya.

Ezra terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Zey, I'm sorry."

"For what?"

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang