Siapa pemenangnya? Orang lama atau orang baru?
Ketika dua insan yang memiliki kisah masa lalu yang belum usai harus bertemu pada ketidaksengajaan yang tak terduga. Zeya yang jatuh hati pada pandangan pertama dengan seorang cowok bernama Revan bertek...
Zeya berjalan keluar dari coffee shop yang terletak di depan apartemennya. Udara malam yang dingin menusuk membuatnya menyesal keluar begitu lama. Sambil menutup kepalanya dengan tudung hoodie, Zeya mempercepat langkahnya untuk segera kembali ke kasur hangat di apartemennya. Namun, tiba-tiba matanya tertuju pada sosok yang tak asing di seberang jalan.
"Ezra?"
Cowok yang sedang asyik dengan ponselnya itu langsung mendongak dan menatap Zeya.
"Kenapa masih di luar?" tanya Ezra, sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, jelas hal ini membuat Ezra sedikit heran.
"Gue habis dari coffee shop. Lo sendiri ngapain di sini?" Zeya bertanya balik, penasaran. Setahu Zeya, Ezra jarang nongkrong di sekitar apartemennya. Biasanya kalau keluar malam, Ezra lebih sering berkumpul dengan teman-temannya di tempat lain.
"Gue lagi nunggu Celsa," jawab Ezra santai.
"Ohh..." Zeya mengangguk, sedikit terkejut. Celsa, kekasih Ezra, ternyata alasan Ezra ada di sini malam-malam. "Kenapa gak nunggu di dalam aja?"
Zeya merasa heran melihat Ezra menunggu di pinggir jalan. Padahal parkir di dalam kompleks apartemen lebih nyaman, dan tidak ada aturan yang melarang.
"Soal itu gue gak mau jawab," Ezra tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Mending lo balik, angin malam gak baik buat lo."
Zeya menaikkan sebelah alisnya. Apakah ini caranya mengusir Zeya dengan halus? Sedikit menyesal, Zeya berpikir ia seharusnya tadi mengabaikan Ezra dan langsung pulang.
"Okay." Zeya akhirnya memutuskan untuk berbalik, berjalan menjauh dari Ezra.
Dari jarak sekitar tiga meter, Zeya menerima panggilan di ponselnya.
"Kenapa, Van?" suaranya terdengar jelas.
Ekspresi wajah Ezra langsung berubah mendengar nama yang disebut Zeya.
✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧
Zeya mengerutkan dahi saat telepon dari Revan tiba-tiba terputus ketika dia sampai di lobi apartemen.
"Dasar cowok freak!" gumam Zeya, merasa kesal.
Saat akan memasuki lift, seorang pria berpenampilan seperti kurir menghampiri langkahnya.
"Permisi, Mba. Atas nama Zeya kan? Ini ada paket untuk Mba," kata kurir tersebut sambil menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Zeya.
"Oh, iya. Makasih, Mas," ucap Zeya sambil menerima paket itu dengan ragu. Setelah itu, kurir tersebut langsung berbalik pergi sebelum Zeya sempat menanyakan apapun.
Zeya memasuki lift, memperhatikan paket itu dengan tatapan bingung. "Aneh banget nganter paket malem-malem?" gumamnya lagi. Paket itu tidak ada nama pengirimnya, membuat Zeya sedikit waspada, apakah ini mungkin semacam teror?
Sesampainya di dalam kamar, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Zeya langsung membuka paket tersebut. Ternyata isinya hanyalah sebuah kotak yang berisi beragam jenis coklat.
Zeya berdecak kesal melihat pesan terakhir dari Revan. Mana mungkin panggilan kepencet bisa bertahan selama itu? Belum sempat membuka bungkus coklat, ponselnya kembali berdering.
Melihat nama Revan muncul lagi, Zeya langsung menggeser tombol hijau dan tersambung.
"Gue tau lo mau makan coklatnya," ucap Revan tanpa basa-basi.
Zeya langsung merinding. "Lo masang CCTV ya? Kok tau aja perasaan gue?"
"Gak ada, ngapain juga gue masang CCTV. Gak penting."
"Terus kenapa lo telepon lagi? Jangan bilang kepencet lagi."
Zeya meletakkan kotak coklat di atas meja kecil, lalu berbaring di kasurnya, merasa lebih nyaman setelah melepas hoodie.
"Gak tau," jawab Revan singkat.
"Freak," sahut Zeya, sambil tersenyum tipis. "Ngaku aja, lo pengen denger suara gue sebelum tidur, iya kan?"
"Hmm, gue gak bisa tidur," jawab Revan pelan.
"Terus, apa hubungannya sama gue?" tanya Zeya, sambil menahan tawa.
"Biasanya Ana yang temenin gue tidur. Sekarang lo yang harus temenin gue."
Zeya memutar bola matanya, merasa geli. "Ya udah, gue ceritain dongeng aja, gimana?"
Terdengar deheman dari Revan di seberang telepon. Zeya tersenyum lagi, lalu mulai bercerita. Ceritanya tidak terlalu serius, lebih seperti obrolan santai yang dibumbui dengan candaan kecil. Zeya tahu Revan hanya butuh seseorang untuk menemaninya malam ini, dan karena ia juga tak punya banyak kesibukan, ia memutuskan untuk melakukannya.
Lima belas menit kemudian, Zeya mendengar suara dengkuran pelan dari seberang sana. Revan sudah tertidur. Zeya menutup teleponnya dengan hati-hati, lalu menarik selimut, ikut memejamkan mata.
Malam yang dingin ini berakhir dengan tenang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ni chapter gk nyampe seribu kata gff lah ya, udah pentok 🤙🏻