CHAPTER 20

31 6 0
                                    

Zeya kembali mengendarai mobil sendiri kali ini, setelah beberapa hari terakhir selalu diantar jemput oleh Revan. Namun, hari ini Revan tidak masuk sekolah. Saat Zeya mencoba menanyakan alasannya, Revan terus mengalihkan topik, membuat Zeya semakin penasaran.

Perjalanan menuju rumah orang tuanya hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Begitu sampai, Zeya keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu utama rumah bergaya klasik yang terlihat megah di setiap sudut. Sebuah pemandangan yang familiar tapi tetap mengesankan.

"Hans, Mama ada di rumah nggak?" tanya Zeya begitu berpapasan dengan Hans, salah satu pelayan keluarga, di tangga.

"Nyonya sedang ada jadwal mengajar, Nona," jawab Hans dengan sopan, seraya menundukkan kepala singkat seperti biasa.

Zeya mengangguk singkat dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju ruang kerja ayahnya. Meskipun ia tidak suka dengan tradisi di rumah yang mengharuskan para pelayan menunduk setiap kali bertemu anggota keluarga, ayahnya selalu menolak untuk menghapuskan peraturan tersebut.

Sesampainya di depan pintu ruang kerja ayahnya yang bercat coklat, Zeya mengetuk tiga kali dengan ringan.

"Masuk," suara ayahnya terdengar dari dalam.

Zeya membuka pintu dan melangkah masuk. Ruang kerja ayahnya terlihat seperti biasanya, namun ada satu orang asing duduk di sofa, yang tampaknya merupakan rekan bisnis ayahnya.

"Oh, Zeya? Tumben pulang," sapa Jairo, ayahnya, dengan nada ramah.

"Zeya kangen rumah, Pa. Papa lagi sibuk?" Zeya melirik sekilas ke arah pria yang duduk di sofa. Ia tak mengenal pria itu sama sekali.

"Tidak terlalu. Ah, perkenalkan, ini Tuan Navvaro, rekan bisnis Papa," jelas Jairo sambil menunjuk ke arah pria tersebut.

Zeya menoleh dan dengan sopan menundukkan kepalanya sedikit. "Selamat sore, Om. Saya Zeya," katanya memperkenalkan diri.

Navvaro mengangguk, membalas perkenalan singkat itu dengan sikap yang formal.

"Ya udah, Pa, Zeya keluar dulu," ucap Zeya, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara lebih lama.

Setelahnya, Zeya melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya, meninggalkan percakapan bisnis yang sedang berlangsung.






✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧




Zeya turun sampai undakan tangga terakhir dan melihat Sava—mamanya—baru saja pulang dari mengajar. Sava merupakan dosen di Universitas Neotara, sebuah kampus elite yang menjadi incaran banyak orang, termasuk Zeya.

"Mamaa~" Zeya langsung memeluk ibunya, melepas rindu yang sudah beberapa minggu ini terpendam karena kesibukan masing-masing.

Sava tersenyum sambil mengurai pelukan Zeya. "Kamu nih, mentang-mentang punya apartemen sendiri, jadi lupa sama rumah," cibirnya lembut, membuat Zeya tertawa kecil.

"Ya, apartemen Zeya lebih deket sama sekolah, Ma," balas Zeya sambil menggandeng lengan Sava. Mereka pun memilih duduk di sofa ruang keluarga.

"Gimana sekolah kamu? Enggak bikin masalah, kan, di kelas sebelas ini?" tanya Sava, tatapannya penuh selidik. Sejak mendengar bahwa Zeya banyak bermasalah di kelas sepuluh, Sava menghentikan semua les tambahan yang dulu Zeya ikuti.

Zeya menggeleng cepat. "Enggak kok, tenang aja. Eh, Ma, Zeya sekarang punya pacar loh," ujarnya sambil tersenyum lebar.

Sava menaikkan sebelah alis. "Masa? Udah move on dari Ezra, nih?"

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang