CHAPTER 23

28 5 0
                                    

Setelah meninggalkan Zeya di mobil, Revan langsung melangkah menuju sebuah rumah yang terletak di sebelah rumah Bu Irma. Itu adalah rumah Ana.

Begitu masuk, Revan bisa mendengar tawa yang datang dari ruang tamu. Dua sosok yang sedang berangkulan di sofa sama sekali tidak menyadari kedatangan Revan. Ana, dan di sampingnya, Gala.

"Loh, Revan?" Ana akhirnya menyadari kehadiran Revan dan menatapnya dengan raut heran.

Gala, yang duduk di samping Ana, hanya melirik malas ke arah Revan, sementara Ana tetap menampilkan wajah polosnya.

Revan menyunggingkan senyum sinis. "Keren juga, lo bisa nipu gue selama ini," katanya, membuat Ana mengangkat sebelah alisnya.

"Oh, lo udah tau? Bagus deh," balas Ana dengan nada tenang, seolah-olah hal itu bukan masalah besar. Gala, di sebelahnya, tertawa kecil, tampak menikmati situasi.

Tatapan dingin Revan menembus kedua sosok di sofa. Setelah membaca dokumen yang Dipta kirimkan semalam, Revan merasa sulit untuk menahan emosinya. Pengkhianatan Ana dan Gala lebih dari sekadar luka; itu adalah bukti bahwa semua yang ia percayai selama ini adalah kebohongan.

Dokumen tersebut mengungkapkan bahwa Ana dan Gala telah menjalin hubungan diam-diam selama lima bulan terakhir, saat Ana masih berpacaran dengannya. Lebih mengecewakan lagi, Ana rupanya setuju dengan perjanjian yang diajukan oleh ayah Revan. Perjanjian itu menyatakan bahwa Ana akan memutuskan Revan setelah kenaikan kelas, dan sebagai gantinya, ayah Revan akan menanggung semua biaya hidup Ana selama SMA.

Revan merasa bodoh. Ana, yang selama ini terlihat penuh perhatian, ternyata hanya menggunakan topeng palsu. Semua kehangatan yang dia rasakan hanyalah kepura-puraan belaka. Jika Revan tahu sejak awal, dia tak akan pernah mau terlibat lebih jauh.

"Makanya, jadi cowok jangan terlalu bodoh, kena tipu kan?" ejek Ana. "Siapa juga yang betah sama lo? Lo suka ngeluh terus soal keluarga lo, padahal hidup lo keliatan sempurna. Lo kurang bersyukur, Van."

Revan menahan tawa dalam hati mendengar ocehan Ana. Sempurna? Ana jelas tak tahu apa-apa tentang hidupnya. Revan tersenyum sinis dan memasukkan tangannya ke saku celana. "Lo gak tau apa-apa tentang gue, Na. Tapi, tenang aja, setelah ini gue pastiin lo gak bakal bisa hidup tenang."

Tanpa menunggu jawaban, Revan berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Ana dan Gala yang menertawakan ancamannya. Tapi kali ini, Revan serius. Dia akan memastikan tawa mereka tidak akan bertahan lama.

"Kayaknya seru banget ya ngapelin mantan?" celetuk Zeya saat Revan memasuki pekarangan rumah Bu Irma.

Revan hanya menatap lurus dan masuk ke rumah tanpa membalas komentar Zeya. Merasa sedikit jengkel, Zeya pun akhirnya mengikuti Revan masuk ke rumah.

Dari jarak dua meter, Zeya melihat Revan tengah membantu menghidangkan makanan di meja makan. Tanpa banyak bicara, Zeya ikut membantu menata piring di atas meja.

"Berhubung masakan Ibu sudah matang, kalian makan dulu saja di sini," kata Bu Irma sambil mempersilakan Zeya duduk. Revan sudah duduk lebih dulu, tetap dalam diam.

Saat makan, Zeya dan Bu Irma sesekali terlibat obrolan ringan, sementara Revan tetap diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah makan, mereka berpamitan untuk pulang. Sebelum pergi, keduanya sempat berganti pakaian karena merasa gerah dengan seragam yang mereka kenakan.

Dalam perjalanan pulang, Zeya memandangi jalanan melalui jendela mobil. Dia sebenarnya ingin bertanya sesuatu kepada Revan, tapi melihat Revan yang sejak tadi diam, ia merasa ragu. Jarak dari perumahan blok H ke apartemen Zeya tidak jauh, namun Revan memilih jalan memutar, memperlambat perjalanan mereka.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang