CHAPTER 08

39 8 0
                                    

Zeya menaruh cangkir cokelat panasnya di atas nakas, lalu melirik jam dinding. Pukul 21.55, tapi ia masih belum bisa tidur. Dengan napas yang berat, ia berbaring di atas ranjang dan membuka ponselnya. Ada satu notifikasi yang membuat hatinya berdebar—chat dari Ezra, cowok yang sudah meninggalkannya tanpa kepastian.

| Ezra
zey, I need u
now.

Zeya mencoba sekuat tenaga untuk tidak membalas pesan itu. Ia menggigit bibir bawahnya, perasaan bimbang memenuhi pikirannya. Sial, Ezra selalu tahu cara membuatnya rapuh.

Ezra is calling you...

DAMN!

Pertahanannya langsung runtuh. Ia dengan cepat mengangkat telepon dari Ezra. Zeya tahu, ia selalu lemah jika berhubungan dengan cowok itu—si brengsek yang sayangnya, masih ia cintai.

"Zey? Is that you?" suara serak Ezra terdengar dari ujung telepon.

"Zra, lo tipsy?" Zeya langsung mengenali nada mabuk di suaranya. Ezra memang punya kebiasaan buruk ini, dan sayangnya, selalu mencari Zeya ketika ia sedang kacau.

Bukan suatu hal aneh lagi jika Zeya tahu kebiasaan buruk Ezra. Yang sangat disayangkan jika tengah begini, Ezra selalu mencarinya. Namun, sekarang 'kan dia sudah punya pacar? Kenapa tidak menelfon pacarnya itu?

"Gak, gue gak mabuk. But, I am dizzy for now. You know the reason? Karena Celsa.. gue abis marahan sama dia."

Zeya tertawa kecut dalam hati. Jadi, Ezra mabuk hanya karena bertengkar dengan pacarnya? Ia merasa bodoh karena masih menjadi tempat pelarian Ezra di saat seperti ini.

"Udah nyoba buat baikan? Gak baik lama-lama berantem sama pacar."

Zeya menahan diri untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah. Ini bukan kali pertama Ezra mencarinya di saat masalah dengan Celsa muncul.

"Gue udah coba nelfon dia berkali-kali, tapi gak diangkat. Gue kacau Zey, gue harus apa?"

Zeya menghela napas panjang. "Lo bisa nemuin Celsa besok pagi, Zra. Udah ya, jangan minum lagi."

"I stopped. Thanks Zey, and sorry.. i miss"

Tutt.

Zeya memutus sambungan telepon sebelum Ezra bisa menyelesaikan kalimatnya. Hatinya terlalu sakit untuk mendengar kata-kata manis yang tidak bermakna itu. Air mata yang sudah ia tahan akhirnya jatuh, mengalir deras di pipinya. Ia menangis dalam diam, di kamar yang hening. Beruntung, Haren sudah pulang lebih awal, jadi tidak ada yang terganggu oleh tangisannya.

Tiba-tiba, suara bel apartemen berbunyi. Zeya buru-buru menghapus air matanya dan bergegas ke pintu. Siapa yang datang malam-malam begini?

Saat pintu terbuka, ia terkejut melihat Jaziel berdiri di depannya. Zeya langsung berusaha menenangkan ekspresinya, mengingat bahwa Jaziel tinggal di apartemen yang sama, bahkan tepat di seberang unitnya.

"Kan bener dugaan gue, lo belum tidur. Tapi ini kenapa mata lo sembab? Lo nangisin siapa?" tanya Jaziel sambil menunjuk wajah Zeya yang masih tampak lelah.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang