CHAPTER 36

5 4 0
                                    

Perlu waktu berbulan-bulan bagi Zeya dan Revan untuk merapikan hati mereka. Walaupun satu sekolah, keduanya berusaha menghindari pertemuan satu sama lain. Zeya sebisa mungkin menghindari Revan, sementara Revan terang-terangan menjauh dari Zeya.

Kabar putusnya mereka sudah menyebar ke satu sekolah. Jissa dan Chenzi, dua sahabat Zeya yang awalnya memang tak merestui hubungan itu, tampak senang, tapi mereka juga sedih melihat sahabatnya harus terluka lagi. Meskipun kecewa dengan Revan, mereka tahu bahwa masalah ini melibatkan kesalahan dari kedua belah pihak.

"Jangan murung terus dong, Zey, udah mau lulus juga. Move on gitu, loh," ujar Chenzi, mencoba menghibur.

"Gue kangen Zeya yang dulu," tambah Jissa dengan nada prihatin.

Setelah putus dengan Revan, Zeya memang berubah drastis. Dari gadis penuh semangat, kini ia menjadi pendiam, jarang sekali berbicara kecuali jika diperlukan. Jissa dan Chenzi merasa kehilangan sosok sahabat mereka yang ceria.

Zeya menatap layar ponselnya yang menampilkan pengumuman Eligible—peringkatnya berada di urutan ketiga. Kegalauan yang ia alami malah membuatnya fokus memperbaiki diri, tetapi tetap saja, ada keinginan untuk menghubungi Revan, walau nyalinya tak sebesar dulu.

"Gue pulang duluan, ya," ujar Zeya seraya meraih ranselnya dan melangkah pergi. Kedua sahabatnya hanya menghela napas, memahami bahwa Zeya masih dalam proses mengatasi perasaannya.

Di perjalanan, Zeya menghentikan mobilnya di depan kedai es krim langganannya. Melihat kursi-kursi di dalam, ingatan tentang momen-momen bersama Revan kembali muncul. Hampir setiap sudut tempat ini menyimpan kenangan mereka.

Dengan langkah mantap, Zeya memasuki kedai yang sepi itu. Bangunannya yang terlihat kuno mungkin jadi alasan beberapa orang tak tertarik datang ke sini, tapi baginya, tempat ini punya kehangatan tersendiri.

"Satu es krim, ya, Nek," kata Zeya kepada nenek pemilik kedai.

Setelah mengangguk, nenek itu beranjak menyiapkan es krim sementara Zeya duduk di salah satu kursi yang dulu sering ia tempati bersama Revan. Tak lama, nenek itu datang membawakan es krim, dan Zeya mengucapkan terima kasih.

"Kamu sedang ada masalah?" tanya nenek itu dengan lembut. Mereka memang cukup akrab karena Zeya sering datang ke sini.

"Aku putus sama pacarku, Nek. Udah beberapa bulan yang lalu, sih. Dia bilang, kita harus merenungi diri buat tahu di hati kita ada siapa. Tapi sampai sekarang, dia gak pernah balik," jawab Zeya pelan sambil memakan es krimnya. Meski tak menangis, terlihat ada kesedihan yang ia tahan.

Nenek itu tersenyum bijak. "Kalau kalian berjodoh, pasti bakal bersatu. Jangan larut dalam kesedihan, kamu seharusnya jadi dirimu sendiri. Jangan sampai hanya karena cinta, kamu berubah jadi seperti robot—kaku dan kehilangan semangat. Ingat ya, Zey, hidupmu masih panjang. Masalah cinta sudah ada yang mengatur." Setelah mengucapkan kata-kata itu, nenek berlalu pergi, membiarkan Zeya merenung.

Zeya terdiam, menyerap kata-kata nenek dengan baik. "Hidupmu masih panjang." Kalimat itu menyadarkannya bahwa ia tak seharusnya terus-terusan seperti ini. Zeya tersenyum tipis, lalu beranjak keluar setelah membayar es krimnya.

Ia tahu sekarang bahwa semua masalah pasti ada jalan keluarnya.



✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧



"Pagi, guys," sapa Zeya ceria saat memasuki kelas. Suara ramahnya membuat semua orang mendongak, menatap terkejut.

"ZEY! LO POTONG RAMBUT? DEMI APA?" teriak Jissa, memecah keheningan.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang