CHAPTER 19

29 5 0
                                    

Zeya melangkah keluar dari toilet setelah mengenakan blazernya. Dahinya terasa sedikit nyeri karena tadi sempat dibenturkan Bianca ke dinding. Memang sialan! Sekarang kepalanya jadi sedikit pusing.

Untungnya, Zeya dulu pernah mengikuti kelas Taekwondo hingga lulus SMP. Ilmu yang ia pelajari berguna saat melawan ketiga cewek itu. Meskipun harus babak belur, Zeya puas berhasil menghajar mereka.

Sesampainya di tempat semula, Zeya kebingungan. Revan, Jo, dan teman-teman mereka hilang entah ke mana. Hanya Ezra yang masih duduk di sofa, tampak santai merokok.

"Yang lain kemana?" tanya Zeya setelah duduk di sofa, merasa aneh dengan suasana sepi.

"Di atas," jawab Ezra, lalu membuang puntung rokoknya dan menginjaknya dengan sepatu. Dia tahu Zeya tidak suka dengan asap rokok, jadi dia mematikan rokoknya.

"Oh," sahut Zeya singkat, mengerti maksud Ezra. Lantai atas kafe ini memang sering dipakai untuk main biliar.

Ezra mengarahkan pandangannya pada dahi Zeya yang terluka. "Dahi lo kenapa luka?"

"Gak sengaja kepentok pintu," Zeya berbohong dengan nada santai, enggan menjelaskan insiden sebenarnya.

Ezra memicingkan mata, tak percaya. Tiba-tiba, dia menarik tangan Zeya, membuat gadis itu mendekat. Zeya terkejut dan meringis, karena tangan Ezra menyenggol lengannya yang terluka.

Melihat reaksi Zeya, Ezra langsung melepas blazernya dan melihat luka di lengan Zeya. Matanya menyipit, penuh penekanan, "Siapa yang nyakitin lo?"

Zeya bertemu dengan tatapan tajam Ezra. Ada kekhawatiran di mata cowok itu, atau mungkin Zeya hanya merasa terlalu percaya diri? Dia menepisnya.

"Cuma luka kecil, nanti juga sembuh," jawab Zeya ringan, meskipun dalam hati merasa sedikit kesal.

Namun, Ezra malah menekan luka di lengan Zeya, membuat darahnya kembali mengalir.

"Sakit tau, Zra!" protes Zeya kesal, wajahnya meringis.

Ezra segera menarik tangannya, lalu mengambil kotak P3K dari laci di samping sofa. Zeya mengamati Ezra, terkadang melirik ke lukanya yang masih berdarah.

Ezra mulai mengobati luka Zeya dengan perlahan, membersihkan darah dengan kapas yang sudah ditetesi obat merah. Ia melakukannya dengan hati-hati, membuat Zeya hanya bisa terdiam mengamatinya.

'Duh, cowok sepenuh perhatian ini kalau bukan pacar gue, rugi gak sih?' batin Zeya. Tapi, pikirannya segera tersadar, 'Tunggu, lo harus sadar Zeya, dia udah punya pacar, dan lo juga punya Revan!'

Senyum masam terbit di wajah Zeya. Kenyataan itu memang sedikit pahit.

Setelah selesai mengobati lengan Zeya, Ezra menempelkan plester di dahi Zeya yang terluka.

"Kenapa lo tiba-tiba perhatian banget gini?" tanya Zeya, mencoba memecah keheningan yang aneh.

Ezra menarik tangannya dan menatap Zeya, "Why not? Kita kan temen, maybe?" katanya sambil tersenyum samar.

Zeya bergidik. Baginya, Ezra yang terlalu perhatian lebih mencurigakan daripada Ezra yang biasanya cuek.

"Oke... gue pulang duluan. Lo tolong bilangin Revan nanti, ya," ujar Zeya sambil merapikan blazernya dan mengambil tas ranselnya.

"Gue anter," ucap Ezra cepat, seolah sudah tahu Zeya bakal menolak.

Meskipun bimbang, akhirnya Zeya setuju. "Oke, kalau gitu."




✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧





Kini, Zeya dan Ezra duduk berdua di dalam mobil, keheningan melingkupi mereka. Zeya memandang keluar jendela, sementara Ezra fokus pada kemudi. Tiba-tiba, Ezra memanggilnya.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang