29. Jovian dan Olivia

25 4 6
                                    


Pagi yang cerah di kota yang sibuk. Matahari naik ke atas dari ufuk selatan, memberikan cahaya semangat di pagi hari. Di persimpangan kota, terlihat Olivia yang berdiri sembari melihat ke arah selatan. Dengan wajah yang tak ramah dan sesekali mengeluh, sudah pasti dia sedang marah.

Rasa kesal mulai menyusup, mengganggu ketenangannya. Dia melihat jam tangannya, menghitung setiap detik yang berlalu. Namun, Jovian masih belum juga muncul.

"Masih hidup gak, sih!" Gumam Olivia dengan beberapa kali menghentakan kakinya ke tanah.

Dia mencoba untuk tetap tenang, tapi kesabarannya mulai menipis. Rencana mereka untuk pergi bersama terancam karena keterlambatan Jovian.

"Masa bodoh!" Keluhnya dengan nada yang semakin frustasi. "Mending kutinggal!"

Olivia langsung berbalik, berjalan menuju sekolah. Dari arah belakang, dia mendengar namanya dipanggil-panggil. Sudah jelas kalau itu adalah Jovian. Dia menoleh ke sumber suara, dengan raut wajah ketidakpuasan.

"Oliv!" Panggil Jovian seraya lari tergesa-gesa ke arahnya.

Olivia menghela napas, menatapnya dengan kesal. "Masih hidup?!"

"Masih dong,"

"Bodoh!" Olivia melayangkan beberapa pukulan ke arah Jovian dengan amat geram. "Asal kau tau! Aku udah di sini dari jam setengah tujuh!"

"Iya! Iya! Maaf!" Balas Jovian. "Ada kendala!"

"Apa!"

"Jadi gini.." Jovian menjelaskan, berharap Olivia memahaminya. "Tadi, aku udah siap-siap. Tapi tiba-tiba, entah kenapa perutku sakit, lalu aku mengeluarkan zat berbahaya dari boko-,"

Olivia membungkam mulut Jovian. "Sudah! Cukup, aku paham!"

Jovian dan Olivia memulai perjalanan mereka ke sekolah dengan langkah yang mantap. Mereka berdua berjalan berdampingan di trotoar yang ramai, membawa tas sekolah di punggung mereka.

Rasa kesal Olivia terhadap Jovian akhirnya pupus, setelah Jovian menyogoknya dengan sejumlah coklat yang dia bawa. Perjalanan mereka jadi penuh canda dan tawa, berbagi cerita tentang kejadian kemarin yang dianggap luar biasa, karena bisa mencegah ramalan walau pun hasilnya tidak sempurna.

Saat sampai di gerbang sekolah, beberapa murid pindahan dari gedung B turun dari bis dengan raut wajah gembira. Sebagai murid asli dari gedung A, Jovian dan Olivia harus bersikap ramah dan menyambut mereka dengan suka cita.

"Wow gila! Yang itu cantik!" Celetuk Jovian dengan senyuman cabul.

"Mulai!"

"Serius!" Jovian mengangkat kedua alis, lalu menggigit bibir bawahnya. "Aku harus kenalan sama dia!"

Olivia mengernyitkan dahinya, lalu bertanya. "Yang mana?"

"Itu! Yang dadanya besar,"

"Bego!" Olivia memukul perut Jovian, lalu melangkah masuk ke gerbang sekolah. "Jangan dekat-dekat!"

"Uhk! Uhk! Kejam!" Keluh Jovian sambil memegangi perutnya yang Olivia tinju.

Di lain sisi, keceriaan dan kebahagiaan sama sekali tak terasa untuk Niko. Dia ada di seberang jalan, melihat kedua temannya sangat akrab. Dari lubuk hati terdalamnya, dia ingin menarik kata-katanya waktu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dia membuat sesuatu keputusan yang seharusnya tak terjadi.

Sebelum jam pelajaran dimulai, kepala sekolah menyambut pada murid pindahan dari gedung B di lapangan olahraga, yang sudah disulap megah semenjak tragedi 22 September lalu.

Mirai: REMAKE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang