Sebelas : Secepat Itu.

5.3K 463 28
                                    


Udang saus padang sebagai menu utama dan tumis kangkung sebagai pendamping telah tersaji di meja makan berwarna kayu itu. Sejak masih remaja Lea memang cukup lihai soal urusan dapur. Menghabiskan masa kecil dan remaja di panti asuhan mau tak mau membuat dia terbiasa mengurus diri sendiri dan juga membantu para pengurus panti, karena dia yang paling dewasa diantara anak-anak yang lain.

"Pak, makanannya udah siap," ujar Lea memanggil Dipta yang sedang menelpon seseorang di balkon apartemen Lea.

"Iya, sebentar," sahut Dipta.

Tak lama kemudian Dipta menghampiri Lea yang sudah menunggunya di meja makan. Dipta terlihat sedikit takjub melihat menu yang gadis itu siapkan. Lea terlihat seperti wanita yang tidak pandai di dapur, tapi penampilan makanan yang Lea siapkan terlihat cukup menyakinkan.

"Kenapa cuma berdiri, duduk pak," ujar Lea mempersilakan Dipta. Tangan Lea dengan lihai mengambil mengambilkan nasi ke piring Dipta. "Segini cukup?" tanyanya memastikan setelah merasa nasi di piring Dipta sudah cukup banyak.

"Cukup kok, nanti kalau kurang saya ambil sendiri."

"Saya sengaja buatnya tidak terlalu pedas, semoga bapak suka."

"Iya, terimakasih Lea."

Mereka mulai menyantap hidangan yang Lea buat, Dipta terlihat cukup menikmati masakan Lea. Namun seperti biasa Dipta saat makan pria itu selalu memasang wajah datar, yang membuat Lea jadi penasaran, apa masakannya sesuai selera pria itu atau tidak.

"Gimana?"

Dipta yang tiba-tiba mendapatkan pertanyaan di sela makannya, terlihat bingung. "Apanya?"

"Masakan saya."

"Enak kok."

Lea menghembuskan napas kasar, lalu menyendokkan makanannya ke mulutnya dan mengunyah dengan kesal. Jawaban Dipta benar-benar datar, seolah terpaksa mengatakan itu dan rupanya Dipta cukup peka, tapi dia ingin sedikit menikmati wajah kesal Lea yang terlihat cukup menghibur di matanya.

"Masakan kamu enak, bahkan termasuk udang saus padang paling enak yang pernah saya makan." Mendengar itu segaris senyum terbit di wajah Lea. "Eyang putri tuh suka, seafood yang dimasak dengan saus padang kaya gini," lanjutnya.

Mata Lea terlihat berbinar. "Beneran?" Dipta mengangguk. "Ya udah nanti saya bungkuskan buat eyang putri bapak ya, kebetulan tadi saya masak cukup banyak."

"Boleh, nanti kamu bawakan, sekalian nanti kita bicarakan soal pernikahan kita dengan keluarga saya."

"Secepat itu?"

"Niat baik, memang harus disegerakan Lea."

"Tapi keluarga bapak gimana?"

"Yang mau nikah sama kamu kan saya, jadi nggak perlu pikirkan mereka."

"Tapi, saya ingin diterima oleh mereka."

"Mereka pasti menghargai dan menerima pilih saya."

"Meski saya, tidak punya keluarga?"

Dipta meraih tangan Lea yang terlihat mencengkram sendok yang digunakannya begitu erat. "Kamu punya keluarga, kan sekarang kamu punya saya," ujarnya lembut.

Layaknya segelas coklat hangat di tengah dinginnya guyuran air hujan, kata-kata Dipta terdengar manis dan menghangatkan, hingga membuat pelupuk mata Lea tergenang. Keluarga, adalah hal yang tak pernah Lea impikan. "Aku pikir, aku sendiri saja sudah cukup. Ternyata memiliki seseorang sehangat ini."

****

Meski bukan pertama kalinya, Lea masih takjub saat menginjakan kaki di halaman rumah Dipta. Berbeda dengan saat pertama, kali ini dia benar-benar datang sebagai calon istri Dipta. Dia juga memilih pakaian yang memberikan kesan berbeda dengan yang pertama kali. Jika tahu akan berakhir seperti ini, dia pasti tidak akan mengatakan hal-hal bodoh waktu itu. Dia bahkan masih bisa merasakan, perasaan malu yang dia rasakan saat itu.

Your's Profesional WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang