Dua Belas : Tentang Kita

3.8K 367 21
                                    


Spesial Leanetta POV 


Aku masih merasa terombang-ambing, bahkan saat keluarga Pradipta, dengan antusias membahas masalah pernikahanku. Aku bahkan masih tidak mengerti sihir apa yang pria itu gunakan, hingga bisa menyeretku sejauh ini. Saat ini aku layaknya air di atas daun talas, sedangkan dia adalah angin yang meniup tangkai talas, membuatku terbawa kesana-kemari, tanpa mengerti dengan pasti. Bahkan saat wanita paruh baya, seorang desainer terkenal itu mulai mengukur tubuhku untuk membuat gaun pernikahanku, aku layaknya manekin yang bisa bernapas.

"Proporsi tubuh calon istri kamu bagus banget loh Ta, kaya model," puji wanita itu usia mengukur tubuhku.

Pak Dipta tersenyum lebar, aku tak paham apa yang membuatnya terlihat begitu bahagia. Dia merangkulku hingga aku menempel ke tubuhnya. "Pinterkan budhe, Dipta cari calon istri." Dia mengatakan itu dengan bangga, yang membuat jantungku berdebar tentunya.

"Iya deh. Nggak sia-sia nunggu jodoh sampai tiga lapan, kalau jodohnya secantik ini."

"Halah. itu pasti si Dipta pakai pelet, makanya Lea mau sama dia," ujar kakaknya yang setengah aku benarkan, ya aku bahkan merasa sedikit linglung sekarang. "Lea, kalau kamu sadar sekarang belum telat loh!" lanjutnya langsung mendapat pelototan dari Pak Dipta.

"Kak Nia, nggak lucu tahu. Nanti orang-orang mikirnya aku beneran pakai pelet."

"Itu fakta tau." Nania menjulurkan lidahnya, lalu berlari yang membuat Dipta langsung mengejarnya.

Saat aku lebih muda, pemandangan seperti itu adalah hal yang sehari-hari aku alami, bedanya jika Nania dan Dipta saling mengejar untuk memperdebatkan hal sepele, sementara aku berbeda. Aku dan anak panti asuhan lainnya saling mengejar sekedar untuk berebut camilan atau sekedar berebut mainan baru. Aku hanya bisa tersenyum canggung, menyadari perbedaan yang kami miliki. Aku bahkan merasa jika aku memasuki dunia yang berbeda, hingga membuatku sedikit merasa takut. Aku takut jika aku tidak bisa beradaptasi dengan semua yang terlihat asing di mataku.

"Dipta, Nania, cukup!" ujar ayah mereka yang membuat mereka langsung berhenti. "Ini sudah masuk jam makan malam, lebih baik kita makan malam dulu," lanjutnya.

"Ah benar, lebih baik kita makan malam dulu," timpal tante Nastiti.

Sepertinya semua menyetujui tanpa perlawanan, kami semua menuju ruang makan. di meja makan panjang itu, tersaji berbagai menu salah satunya masakan yang aku bawa. Duduk di antara mereka tentu saja masing terasa canggung untukku. Terlebih saat mereka mulai membicarakan sesuatu yang hanya mereka mengerti, aku merasa seperti ubur-ubur yang terjebak di kelompok lumba-lumba.

"Kamu mau makan apa? Biar aku ambilkan?" tanya Pak Dipta yang membuatku merasa kembali menjadi manusia.

"Saya eh aku ambil sendiri aja mas," jawabku. Hampir saja aku bicara dengan bahasa formal pada Dipta seperti yang bisa aku lakukan, mereka pasti akan curiga jika pasangan yang mengatakan sudah lama menjalin hubungan berbicara dengan bahasa formal.

"Udang saus padangnya sedikit berbeda dari biasanya?" ujara eyang putri yang membuatku sedikit menegang, meski aku percaya diri jika itu enak, tapi bagaimana jika itu tak sesuai dengan selera mereka.

"Kenapa memangnya eyang?" tanya Dipta, seperti dia juga sedikit merasa cemas.

"Ini jauh lebih enak dari biasanya, apa Rini nemu restoran baru ya."

Aku langsung bisa bernapas lega, Dipta juga terlihat lega, dia bahkan tersenyum lebar. "Itu Lea yang masakin loh," ujarnya dengan bangga yang membuatku sedikit merasa malu.

Your's Profesional WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang