Tujuh belas : Menjelang Hari H

3.1K 325 33
                                    

HAiiiii 

Kangen aku pasti? 

Aku update setelah satu bulan, yang lupa jalan ceritanya boleh banget baca ulang. 

Happy reading^^ 

*** 

Lamaran seminggu yang lalu terakhir kali Lea dan Dipta bisa bertatap muka secara langsung. Mereka sedang dalam tahap dipingit. Bahkan saat fitting terakhir baju pengantin mereka sama sekali tidak boleh bertemu padahal mereka ada di tempat dan waktu yang sama. Selain itu, dia juga dilarang keluar rumah sendiri, katanya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan rindu, tapi Lea hanya merasa sedikit ada yang kurang, karena belakangan ini dia dan Dipta selalu bersama. Namun sekarang hanya bisa berkomunikasi lewat telepon, itu juga mencuri waktu di sela kesibukan dalam mempersiapkan pernikahan. Seperti hari ini sejak pagi rumah besar itu sudah ramai mempersiapkan acara pengajian dan juga siraman.

Namun Lea merasa sedikit bosan, karena semua orang melarang dia untuk melakukan apapun, beruntungnya sejak tadi pagi ada Anantasia yang yang datang untuk menemaninya. Sahabatnya itu adalah tokoh penting yang membuat Lea dalam situasi seperti sekarang ini. Lea yang sedang di rias untuk acara siraman yang akan dilanjutkan acara pengajian itu, mulai merasa risih saat sahabatnya terus menatapnya sejak tadi.

"An, kok lihatin guenya gitu amat sih?" protes Lea yang mulai merasa tak nyaman.

"Enggak cuma dulu kita sering gibahin Pak Dipta dan bertanya-tanya siapa wanita sial yang jadi istrinya dan gue nggak pernah ekspect kalau yang jadi wanita sial itu elo," tutur Ana tanpa merasa berdosa.

Lea ingin menyangkal, tapi itu adalah fakta wanita yang akan menikah dengan dosen yang menurutnya paling menyebalkan dulu adalah dirinya. "Ta-tapi Mas Dipta nggak seburuk itu kok." Lea berusaha membela Dipta.

"Iya deh yang udah mulai bucin, tapi kalau dipikir-pikir Pak Dipta emang tipe ideal lo sih. Mapan, tampan dan seksi." Mendengar itu wajah Lea langsung merah padam, tiba-tiba dia teringat dengan tubuh Dipta yang dia lihat saat dia kehilangan akal sehatnya malam itu. Dia juga mengingat betapa hebatnya ciuman Dipta. "Ih wajahnya merah, pasti lagi bayangin yang enggak-enggak!" tuduh Ana yang tepat sasaran.

"Kata siapa?"

"Kelihatan jelas di jidat lo."

"Tau ah! Lo keluar aja, gue mau ganti baju. Dia ganggu kan Mabak," ujarnya mengajak sang MUA yang tidak tahu apa-apa selain sedang bekerja mempercantik Lea.

Melihat tingkah sahabatnya Ana hanya tertawa, lalu menuruti Lea keluar dari kamar Lea. Dia juga tidak mau menghambat pekerjaan MUA. Tak lama kemudian Lea dipanggil karena acaranya akan segera dimulai. Lea mengenakan kemben warna hijau yang ditutupi dengan rajutan bunga melati. Prosesi siraman menggunakan adat jawa, karena konon kakeknya itu adalah bangsawan jawa yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Lea dituntun oleh Ana dan juga tantenya menuju aula siraman yang ada di halaman samping.

Acara berlangsung dengan khidmat, karena dia tidak memiliki orang tua, maka digantikan oleh sang kakek dan tantenya. Sesaat Lea membayangkan betapa bahagianya dia jika yang melakukan siraman adalah kedua orang tuanya. Meski samar, Lea bisa mengingat Ayahnya pasti akan menangis melepas putrinya menikah. Namun segera dia menepis segala khayalan yang hanya akan semakin menyakitinya. Dia harus cukup bersyukur, setidaknya dia bisa melakukan rangkaian prosesi pernikahan seperti orang lain. Hingga tiba saat prosesi dimana ayah mempelai harusnya menggendong anaknya, tapi karena Lea sudah tak memiliki ayah, dia bangkit sendiri dan hendak berjalan untuk berganti baju, karena semuanya sudah basah. Tiba-tiba kakeknya memberikan tangannya untuk digandeng oleh Lea.

"Eyang kamu itu sudah terlalu tua, sudah tidak kuat jika harus gendong kamu, jadi gandeng tangan eyang." Sang kakek mengatakan itu tanpa ekspresi yang berarti.

Your's Profesional WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang