For next chapter 20 vote.
***
Sebelumnya...
"Vanka, ini kesempatan buat kamu meraih kebebasan."
Di depan lift perusahaannya, Jovanka berdiri sambil memegang sebuah kertas berisi alamat. Temannya baru saja menawarinya pekerjaan baru, dengan sangat meyakinkan dan berujar berulang kali bahwa ditempat itulah gadis berusia 26 tahun tersebut akan memperoleh kebebasan.
"Kebebasan seperti apa maksud kamu Fadel, kok aku bingung ya?" Jovanka menggaruk rambutnya yang pagi ini dikuncir dikedua sisi kepalanya. Tak pantas memang dengan usianya, tapi Jovanka tidak punya pilihan. Sebab Bos dari anak buah Bosnya yang memberinya perintah.
"Tentu saja kebebasan dari bully-an para bos bos besar di kantor ini. Aku udah lihat hampir belasan tahun lamanya bagaimana perlakuan mereka ke kamu, dan itu sangat biadab."
Fadel mungkin adalah pria yang paling peduli dengan Jovanka di kantor ini. Dan Jovanka tersenyum dengan kepeduliannya tersebut.
"Fadel, kamu salah paham tentang mereka. Mereka tidak sekejam itu kok, percaya sama aku."
"Tidak, Jovanka. Kamu harus dengerin aku, aku tidak tega kamu diperlakukan seenaknya begitu dengan para orang kaya itu. Di tempat ini kamu akan mendapatkan pekerjaan tetap, gajinya juga lumayan meski memang tidak sebesar gaji kamu sebagai sekretaris disini. Tapi yang pasti kamu akan jauh diperlakukan sebagai manusia di sana."
"Oh! Maksud lo kami tidak memperlakukan Jovanka seperti manusia disini?!"
Fadel seperti akan mati kehilangan oksigen. Paru parunya terasa menghimpit. Ini sudah bukan dimasa masa SMA nya, namun gelegar suara yang baru saja berseru dibelakangnya masihlah sama.
Mau tak mau, Fadel berbalik. Ia seperti mendapati para preman di sekolahnya yang suka membuat onar, kala mendapati keempat pria yang merupakan para bosnya telah berdiri dihadapannya. Lengkap dengan Yoga Al Delano, pemilik sekaligus CEO di perusahaan ini.
"Lo karyawan disini!" Bersamaan dengan pertanyaannya, salah satu pria yang Fadel kenal bernama Alan telah menarik kerah dilehernya keatas, membuat tubuhnya yang tidak seberapa dibanding pria itu otomatis terangkat.
"Lo bisu?!"
"Ampun, tuan."
"Nama lo Ampun."
Kedua teman Alan sudah terbahak, apalagi begitu dilihatnya wajah Fadel memucat, dengan titik keringat di kening dan pelipisnya.
"Bos, lepaskan Fadel." Jovanka berusaha melepaskan cengkeraman Alan, yang sia sia saja sebab pria itu jelas lebih besar dibanding dengan tubuhnya yang kurus. "Bos, Fadel bisa kehabisan napas." Tak hilang akal, Jovanka pukul kaki Alan dengan tongkatnya. Dan tak hanya berhasil membuat Alan mengaduh, namun juga berhasil membebaskan Fadel.
"Panci gosong!"
Alan menjerit tak terima, matanya mendelik horor penuh perhitungan pada gadis itu. Fadel yang terbatuk mengusap lehernya, bersembunyi dibelakang Jovanka.
"Eh, sini lo!" Bukan lagi Fadel yang Alan ingin kunyah, tapi kekesalannya langsung beralih pada Jovanka yang kini menatapnya memelas.
"Bos?"
"Sini, lo!"
"Saya tidak sengaja, Bos."
Tongkat Jovanka yang digunakan untuk memukul kaki Alan bukan main rasanya, kakinya terasa nyut-nyutan. "JOVANKA. BERANI LO SEKARANG YA!"
Jovanka tidak merasa bersalah tentang itu karena Alan memang pantas mendapatkannya. Tapi Jovanka berulangkali tetap meminta maaf. Dan tahu bahwa pagi ini dirinya tidak akan selamat, maka Jovanka menarik tangan Fadel dengan tangannya yang tidak memegang tongkat agar segera masuk kedalam lift yang kini terbuka.
"Maafkan saya, Bos."
Umpatan Alan begitu keras, Jovanka tidak takut karena sudah terbiasa menghadapi bosnya yang seperti itu.
Yah. Jovanka sudah terbiasa karena seperti yang Fadel bilang telah belasan tahun lamanya keempat pria itu berlaku sama.
Namun, Jovanka tidak setuju bila ada yang mengatakan ia di bully ataupun diperbudak dengan kejam. Sebab Jovanka tahu, apa yang diperbuat para bosnya demi melindunginya. Yang memang kerap kesulitan bersosialisasi lantaran keadaan kakinya yang cacat.
Jika ada yang memperlakukannya selayaknya manusia sempurna di dunia ini selain keluarganya, maka mereka merekalah orangnya.
"JOVANKA!"
Jovanka menekan tombol lift berkali kali, dan bersamaan dengan pintu lift yang menutup, Jovanka tahu tubuh Alan kini di tahan oleh salah satu bosnya yang lain karena Jovanka bisa mendengar gerutuannya yang meminta untuk dilepaskan.
Jovanka mencoba untuk melihat, dan kakinya seperti terpaku ditempat kala mendapati siapa yang tengah menahan tubuh Alan disana.
Dia.... kembali.
Jovanka merasakan punggungnya mendingin. Tubuhnya seakan tak bertulang saking lemasnya. Bahunya merosot kebawah dengan degupan jantung yang berdentum keras dan semakin menggila rasanya begitu pria itu juga membalas tatapannya. Sebelum, sudut bibirnya menyeringai.
"Lepas, Rome."
Jerome Aksean Delano.
Yah, sudah jelas bukan?
Memangnya darimana lagi jika bukan dari nama itu dongeng ini akan dimulai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Fiction générale18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...