Chapter 11

97 10 0
                                    

Pemuda itu menekuk satu kakinya dan menggunakan lututnya sebagai tumpuan agar bisa sejajar dengan gadis di depannya yang duduk di kursi taman.

Gadis itu terisak, lelehan bening dikedua pipinya tak henti membasahi diwajah manis itu. Pemuda itu tak menyukai tangisan itu, namun juga tidak menyesali perbuatannya sesaat lalu.

Masuk ke rumah orang tanpa izin. Lalu membawa kabur anak gadis pemilik rumah secara paksa. Sanksi atas perbuatannya pastilah penjara. Tapi pemuda itu sekali lagi tidak peduli.

"Sayang, udah dong jangan nangis. Aku minta maaf, tapi aku nggak akan nyesel bisa bawa kamu kesini."

"Kakak nyakitin Ibu, nyakitin saudara aku juga." suara serak itu terdengar sangat kecewa. Dan menyayangkan atas perbuatannya.

"Maaf. Tapi aku akan menyakiti siapapun yang menghalangi aku ketemu kamu. Tanpa terkecuali."

"Jangan. Aku nggak suka."

Pemuda itu menggenggam jari jari mungil gadis itu. Untuk dibawa dan ia kecup berulang ulang penuh sayang.
Tak tega sebenarnya harus membuat gadisnya menangis.

"Jangan pernah menghindar lagi dari aku. Apapun alasannya. Apalagi sampai bersembunyi dari aku, karena kemanapun kamu pergi. Nggak peduli seberapa jauh tempat itu, aku; Jerome Aksean Delano bakalan nemuin kamu."

Pemuda itu pun menarik tubuh gadisnya dalam pelukan. Membiarkan sang gadis menangis. Pemuda itu tahu bahwa gadisnya tengah berduka karena belum lama ini kehilangan figur seorang ayah. Tak hanya itu, pukulan terberat lainnya adalah vonis dari dokter yang menyatakan gadisnya selamanya akan kehilangan fungsi kakinya.

Meski begitu, rasa cinta dihati pemuda itu sama sekali tidak berkurang. Ia bahkan berencana akan secepatnya mengupayakan agar mereka bisa selalu dekat bagaimanapun caranya.

"Maaf aku nggak ada disana saat kamu butuh. Maaf nggak bisa menjadi cowok yang bisa kamu andalkan disaat kamu sangat butuh dukungan." Pelukan keduanya terurai. Pemuda yang bahkan seharusnya belum mengenal kata pacaran itu menangkup wajah gadisnya. Membelainya penuh kelembutan. "Tapi aku janji. Besok aku akan pulang ke Jerman dan mengurus semua kepindahan aku kesini. Aku nggak akan ninggalin kamu lagi, aku janji."

"Janji?" Gadis itu menyodorkan jari kelingkingnya sebagai simbol bahwa sang pacar tidak boleh ingkar. Tapi pemuda itu malah menggesekkan kedua hidung mereka. "Janji."

"Apa dikehidupan sebelumnya saya mengenal kamu Jovanka?"

"Hah? Bapak ngomong sesuatu?"

Jovanka tengah memainkan riak air ketika kepalanya mendongak karena seperti mendengar gumaman dari Jerome. Tapi pria itu malah memasukkan kepalanya kedalam air dan muncul kembali dengan mengibaskan rambut ke wajah Jovanka dengan sengaja.

"Bapak ihh. Kena mata saya."

Tapi Jerome sepertinya terlalu senang hingga hanya tertawa. Tubuh kurus Jovanka ia gendong dan dibawanya berenang. Membuat Jovanka untuk kesekian kalinya memekik. Tapi tidak Jerome lepaskan, ia justru baru melepaskan Jovanka setelah mendudukkan gadis itu dipinggir kolam.

"Sepertinya mengajak kamu berenang adalah kesalahan yang fatal." Keluh Jerome begitu lagi dan lagi matanya harus disuguhkan dengan jiplakan blus Jovanka yang basah. Akibatnya daleman warna hitam itu mengintip malu malu dibaliknya.

"Kamu harus ganti baju sekarang Jovanka. Atau... ah, sial!"

Jerome naik, membuat Jovanka bingung. Tak tahu saja bahwa Jerome berusaha keras untuk tetap berfikir waras disaat kepala bagian bawahnya kini berdenyut mengerikan.

Belenggu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang