Kedua kaki mungil berbalut flathshoes pink pudar itu menapaki lantai dengan langkah lambat memelan. Jovanka mengedarkan penglihatannya ke sekitar yang siang ini memang cukup ramai. Tapi baginya itu tak sulit menemukan dan mengenali dua punggung pria yang duduk membelakanginya tersebut dengan presensi yang lainnya. Ia sedang berada di rumah sakit untuk mengunjungi Karina yang melahirkan, tapi dokter belum mengizinkannya masuk karena katanya Alan sedang tak bersahabat. Padahal istrinya baik-baik saja, si kembar juga terlahir normal dan sehat. Tapi pria dengan tiga orang anak itu belum bisa bernapas lega lantaran dia sangat ketakutan menyaksikan Karina melahirkan dua kepala sekaligus. Jadi Jovanka memakluminya, ia mungkin bisa menemui dua dokter di depan sana dulu untuk sekedar menyapa setelah lama tidak bertemu.
Dokter Arsa dan dokter Revano, keduanya tengah duduk di kantin menikmati makan siang. Jovanka yang merasa sudah sangat mengenal baik keduanya berniat akan mengagetkan mereka. Mungkin jika beruntung Jovanka bisa memalaknya seperti biasa.
Ia bergerak sepelan mungkin, dan saat sudah dekat Jovanka mulai mendengar dengan jelas apa yang sedang dua dokter itu bahas. Lagi lagi Jovanka pun menjadi penguping.
"Jadi hubungan lo sama Vanka nggak akan lanjut ke yang lebih serius?"
Ooh.. rupanya dokter Revano pun mendengar tentang betapa semangatnya Shinta menjodohkan dirinya dan dokter Arsa. Jovanka jadi malu sekarang, sepertinya ia tidak akan sanggup memperlihatkan wajahnya di depan keduanya sekarang. Jovanka memilih berbalik, sepelan mungkin agar tidak ketahuan. Meski begitu telinganya malah masih dengan baik mendengar sahutan dokter Arsa.
"Ya enggaklah. Lo tau sendiri gue kayak apa dari dulu. Fisik itu kepuasan tersendiri bagi gue dan harus menjadi poin utama dalam menjalani sebuah hubungan."
"Brengsek lo!"
Keduanya kemudian tergelak bersama, sedang Jovanka pias ditempat. Mendengar orang terdekatnya membicarakan kekurangannya menjadi pukulan terberat baginya.
"Lagian gue suka sama Vanka karena gue sangat salut sama dia. Apalagi Jerome dan yang lain juga memperlakukan gadis itu special, jadi gue juga ingin berlaku hal sama. Tapi, sorry kalau untuk menjadi gandengan kayaknya nggak mungkin. Gue punya ego yang tinggi, gue belum siap jika harus membawa Jovanka kemana mana dan mengakuinya pacar."
Belum siap adalah cara mendeskripsikan secara halus bahwa sebenarnya dokter Arsa malu. Jovanka meninggalkan tempat tersebut dan apapun pembahasan tentangnya. Sakit hati sudah menjadi makanannya, setiap orang bebas berpendapat dan Jovanka tidak bisa membungkam semua orang hanya karena ia merasa sedih saat mendengarnya.
Jovanka kemudian keluar dari kantin, lalu menyusuri koridor sendirian sampai tiba di ruang rawat Karina. Ia mengetuk pintu sesaat, dan tanpa memerlukan izin dari siapapun yang berada di dalam Jovanka nekat membuka pintu.
Terkesiap kaget, Jovanka tak mengira bahwa diruangan itu bukan hanya ada Karina dan Alan di dalamnya. Ia merutuki kebodohannya begitu netranya kini bertumbuk dengan obsidian hitam yang ikut memakunya.
Jovanka bergerak kikuk, tak mungkin ia pura pura melupakan sesuatu dan kembali keluar, itu akan sangat terlihat sekali jika ia berusaha menghindar.
Maka mengabaikan tatapan Jerome yang masih terarah tajam padanya, Jovanka pun dengan pelan mendekati ranjang.
"Sama siapa?"
"Raga. Tapi dia nggak ikut ke sini karena ada urusan."
Alan mengangguk, dia sedang menggendong satu bayi nya. Sedang Karina masih berbaring, Jovanka menggenggam tangan wanita hebat itu dengan tatapan takjub. Apalagi pada si kembar.
"Mbak Karina hebat," pujinya yang dibalas tertawa oleh Karina. "Kok bisa ya Mbak, perut Mbak isi dua."
"Itu keajaiban Vanka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Ficção Geral18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...