Jerome berhasil mengulur waktu hingga keesokan harinya. Kemarin ia dan Jovanka mendatangi banyak tempat, terutama taman kota. Bermaksud mencari sesuatu yang mungkin saja bisa mengingatkannya dengan masa lalu, tapi nihil, Jerome tetap tidak bisa mengingat apapun.
Lalu keduanya kembali ke Penthose usai makan malam diluar. Mereka menghabiskan malam dengan duduk diatas ranjang sambil berpelukan, lalu bercerita banyak hal. Jovanka lah yang lebih banyak bercerita dan Jerome menjadi pendengar yang baik.
Dan pagi ini Jerome tak bisa menghindar lagi. Disini tak hanya dirinya yang ketakutan, tak hanya dirinya seorang yang mengharapkan kebaikan datang. Karena Jovanka pasti lebih menginginkannya, karena dia pasti yang akan lebih hancur dibanding siapapun.
Dia hanyalah seorang anak yang patuh, yang menaruh hormat dan sayang pada kedua orangtuanya. Ini bukan tentang sebuah pilihan, tapi keharusan untuk menunjukkan rasa bakti sebagai anak yang sudah sewajibnya mencintai ayahnya sampai kapanpun.
Tidak ada mantan anak ataupun mantan orangtua.
Mungkin bisa menghapus banyak hal dalam hidup. Namun tidak akan pernah bisa menghapus kenyataan bahwa kita terlahir ke dunia berkat peran kedua orangtua. Ibu yang melahirkan, dan seorang ayah yang hebat disisinya.
Untuk itu pagi ini Jerome membawa Jovanka ke Rumah Sakit. Siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja ditemuinya.
"Saya nggak boleh ikut?"
"Tunggu disini," yang Jerome maksud adalah ruang perawatan Nathan. Mereka saat ini tengah berdiri di depan pintu. Ada Romeo yang menunggu, juga Alan ditengah lorong sambil bersedekap.
"Nanti Bapak kesini lagi 'kan jemput saya?"
"Tentu."
Jovanka tersenyum, lalu mengangguk setuju. Jerome kemudian memberinya tongkat, tongkatnya yang sempat hilang. Tongkat yang pernah Jerome belikan untuknya. Tongkat yang selalu menjadi tumpuannya berjalan, penopang tubuhnya.
Pokoknya tongkat ini membantunya banyak hal.
Karena harus memegang tongkat, pegangan dilengan Jerome, Jovanka lepaskan. Sebenarnya Jovanka lebih menyukai Jerome yang menuntunnya, tapi mau bagaimana lagi? Memang tidak sepatutnya ia terus menerus membebankan pria itu.
Jerome mengusap sisi kepala Jovanka sampai wajah, memandanginya hangat penuh sayang. Sejatinya tidaklah ada yang kekal di dunia, bahkan cinta sejati pun akan sirna. Jika bukan manusia yang menghapus perasaan tesebut, ataupun waktu yang memudarkan. Pastilah peran takdir yang hadir.
Hanya tinggal menunggu kapan kematian datang. Sesuatu yang pasti, yang membuat raga tak lagi bernyawa, lalu meninggalkan segala sesuatunya di dunia. Bahkan cinta yang diagungkan manusia pun tetap akan ditinggalkan oleh sang pemilik raga.
Lalu, kenapa bersama dianggap sebuah dosa?
Padahal Jerome tidak bisa mengelak dari takdirnya. Seandainya pun memang dirinya lah yang bersalah, bukankah bukan keinginannya menjadi seorang pembunuh.Ia hanya terjebak dalam perannya di cerita ini. Yang dicintainya adalah seorang gadis yang ayahnya terlibat kecelakaan dengannya hingga menyebabkan orang tersebut meninggal.
Lantas mana yang salah dari itu?
"Vanka, jika bersama bagi kamu sebuah dosa. Lalu apakah berpisah mampu menghapus dosa tersebut?"
"Tidak perlu dijawab." Jerome tahu jawabannya. Seandainya pun posisi mereka dibalik, tentu saja ia akan bersikap seperti Jovanka. Berpisah tidak akan menghapus dosa, tapi setidaknya mereka berhenti menambah banyak dosa.
"Masuklah, saya akan pergi setelah memastikan kamu berada di dalam."
Jovanka menurut, ia memasukkan tubuhnya melewati pintu yang telah Jerome buka untuknya. Sebelum pintu di tutup, gadis itu melambaikan tangan ceria pada Jerome dan pria itu hanya membalas dengan senyuman kecil. Yang bahkan sangat samar dilihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Ficción General18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...