Tak apa meski hanya diriku seorang yang menepati janji.
Yang akan tetap mencintaimu, Yang akan tetap menjaga hati ini sampai aku.... mati.____________________________________
Fadel yang baik, bertanggungjawab, penyayang. Marissa menjabarkan tentang hal baik pria itu selama beberapa hari ini rutin mengunjungi Jovanka. Setiap kali Jovanka menyatakan ketidak sukaannya dan menolak untuk bertunangan maka Marissa akan semakin gencar menasehati Jovanka untuk menerima.
Jovanka sudah tidak tahu bagaimana lagi menjelaskan pada ibunya bahwa Fadel tidak sebaik yang Marissa kira. Fadel memang baik, tapi lebih kepada memaksa dan bertindak sesukanya.
Hari ini saja Fadel memaksa mengantar Jovanka ke Rumah Sakit untuk melakukan pemeriksaan pada kakinya yang memang dilakukan secara rutin.
Selain itu mereka juga akan mengunjungi ibu Fadel yang katanya sejak semalam di rawat.Selama diperjalanan, Jovanka yang duduk disamping pengemudi itu menutup mulutnya rapat. Berkali kali Marissa mencoba menciptakan percakapan yang sekiranya Jovanka bisa ikut kedalamnya. Tapi Jovanka hanya membalas sepatah dua patah kata, itupun jika sangat terpaksa.
Turun dari mobil sesampainya di rumah sakit, Jovanka berjalan terlebih dulu tanpa menunggu siapapun. Membuat Marissa berdecak mengomelinya yang tak sopan.
"Kenapa sih, Fadel ngelakuin kesalahan apa lagi yang bikin kamu sampai ngambek kayak gini?" Marissa yang bisa menyamai langkah sang putri akhirnya pun bertanya. "Fadel emang salah, dia mengakui itu sayang. Tapi tolong beri dia kesempatan."
Jovanka perlu menoleh saat mulai tak mengerti arah pembicaraan Marissa. "Ya emang dia salah, Bun. Fadel udah cerita sama Bunda?"
Marissa mengangguk, lalu menggandeng tangan Jovanka agar mereka bisa bicara sambil jalan. "Iya, Fadel cerita. Tapi nggak baik marah-marahan terus kayak gini sayang. Tau sendiri usaha Fadel buat kamu, setiap hari loh dia ke rumah, bawain makanan yang kamu suka."
"Tapi Fadel itu udah keterlaluan, Bunda. Dia maksa... ."
"Tapi dia ngelakuin itu kan juga buat kalian." Marissa memotong kalimat Jovanka yang belum selesai, kejadian ini selalu terjadi saat mereka berbicara. "Lagi pula Fadel pindah ke Bandung buat buka bisnisnya sayang, jadi udah dong ngambeknya. Kalian baikan, Fadel janji kok mulai sekarang nggak akan ninggalin kamu."
Untuk kedua kalinya Jovanka berhenti dan menoleh pada ibunya. Ini karena pendengarannya yang bermasalah, atau pembahasan mereka memang tidak nyambung.
"Bunda tau aku kesel sama Fadel karena apa?"
"Karena Fadel berhenti kerja dan pindah ke Bandung kan? Kamu minta putus karena masalah itu, Bunda udah tau, Fadel yang cerita."
"Putus, ha.." Jovanka semakin tak mengerti. Bukan tidak mengerti akan ucapan Marissa, tapi ia tidak mengerti pada Fadel yang entah mengarang cerita apa pada Marissa hingga sang Bunda salah memahami seperti ini.
Ini perlu diluruskan, tapi Jovanka menahan perkataannya diujung lidah saat mereka sudah berada tepat di ruangan dokter yang sudah ada janji dengannya. Apalagi saat ekor matanya menangkap keberadaan dokter Arsa yang mendekat kearahnya.
"Selamat pagi Vanka, tante." Sapa dokter Arsa dengan senyuman khasnya yang memikat.
"Pagi dokter." Bukan Jovanka yang menjawab, melainkan Marissa. Menyadari anaknya yang bersikap acuh, Marissa sampai menepuk lengan atas Jovanka sampai gadis itu meringis. "Tidak sopan, disapa itu jawab." Marissa menegur sambil tersenyum tak enak hati pada dokter Arsa yang masih tak bosan tersenyum kearah mereka. Dokter Arsa pun memakluminya, meskipun dalam hati ia bertanya kenapa Jovanka seperti menghindar darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Художественная проза18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...