Chapter 44

49 9 1
                                    

Jovanka dilanda kebimbangan yang luarbiasa. Ia tidak bisa tiba-tiba mendatangi Jerome dan menanyakan siapa sebenarnya ayah dari bayi yang Luna kandung. Jovanka cukup waras untuk tidak melakukannya. Dan tidak mungkin pula Jovanka mencari Luna ke Jerman hanya untuk memastikan.

Tapi dengan kejadian ini Jovanka malah memandang Jerome berbeda. Ia yang tadinya mengira Jerome sangat buruk memperlakukan perempuan jadi mulai penasaran apa sebenarnya yang terjadi pada pria itu.

Ini sebuah teka teki yang perlu Jovanka cari jawabannya. Jerome yang memutuskan menikah mendadak, rumor yang mengatakan ada cinta segitiga yang melibatkan tuan Demian kedalamnya. Sungguh Jovanka merasa rumit memikirkan ini semakin jauh.

Merasa buntu Jovanka kemudian memiliki ide untuk mendatangi kantor tempatnya bekerja dulu. Siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi dimana Luna berada sekarang. Kalau beruntung, Jovanka bisa mengorek informasi dari Lala.

Yah Jovanka harus melakukannya sekalipun kemarahan Yoga akan ia hadapi setibanya disana. Maka pagi ini gadis itu sudah rapih dengan rok kotak-kotak selututnya, sementara atasannya sendiri hanya mengenakan kaos polos berwarna hitam.

Marissa yang melihatnya saat membuka pintu sampai bengong. "Baru mau Bunda bangunin. Kok udah rapih sayang, mau kemana?"

"Iya nih Bun, aku kangen sama Mbak Nadia. Jadi mau ketemu sama Mbak Nadia."

Jovanka tidak berbohong, Jovanka memang sempat mengirim pesan pada Nadia dan seniornya itu mengajaknya makan siang bersama. Jadi setelah urusannya selesai, Jovanka akan pergi dengan wanita itu.

"Bisa batalin dulu, soalnya ada tamu yang nungguin kamu dibawah."

"Siapa?"

"Calon tunangan kamu, dia sengaja datang sendiri. Padahal dia tinggal di Bandung."

Jovanka sama sekali tidak mengira bahwa ibunya serius tentang ini, bahkan terkesan buru-buru sementara Jovanka sama sekali belum mengenal pria yang ibunya bicarakan.

"Tapi Bun, apa ini nggak terlalu mendadak? Kami bahkan belum pernah bertatap muka sekalipun."

"Nah karena itu dia kesini. Dengan begitu kalian bisa mengobrol, dan saling mengenal satu sama lain." Marissa menuntun Jovanka menuruni tangga, kebetulan pagi ini Jovanka tidak membawa tongkatnya. Ia tidak mau terlalu memanjakan kakinya jika apa-apa selalu menggunakan tongkat.

Marissa lalu membiarkan Jovanka keluar sendiri begitu mereka tiba dibawah. Tamunya ada di ruang tamu katanya, dan Marissa tidak ingin membuat keduanya canggung jika ikut keluar.

Jovanka menghela napas, anehnya gadis itu sama sekali tidak merasa deg-degan ataupun gugup. Ia seperti hanya akan menemui tamu biasa, karenanya Jovanka tidak perlu berfikir panjang untuk segera melangkah ke ruang tamu.

"Loh, Fadel?"

Siluet tubuh pria satu satunya yang Jovanka lihat begitu tiba di ruang tamu hanyalah temannya itu, Fadel.
Sosok itu tidak berubah, ralat hanya kacamata yang membingkai wajahnya yang tidak berubah dan memang menjadi ciri khas seorang Fadel. Selain itu secara keseluruhan Fadel bukanlah Fadel yang selama ini Jovanka kenal.

Dan kemana kemeja yang semua kancingnya terpasang sampai leher itu?

"Miss you." Belum bertanya lebih lanjut, Jovanka sudah lebih dulu kaget karena Fadel tiba-tiba saja memeluk tubuhnya. Jovanka merasa bersalah dan untunglah pelukan itu hanya beberapa detik saja sebelum dilepaskan.

"Lama nggak ketemu aku, kamu nggak kangen?"

"Hah?"

"Ck, kita baru bertemu setelah hampir setengah tahun, Vanka."

Belenggu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang