Chapter 34

52 9 2
                                    

Empat hari. Selama Metta masih menginap di rumah Yoga, selama Jovanka memiliki tugas menjemputnya sekolah, dan selama gadis kecil itu meminta mampir ke kantor Jerome ---- selama itu pula Jovanka berhasil melarikan diri bertemu pria itu.

Jovanka berhasil menghindar dengan banyak alasan, dan ia memiliki Romeo sebagai alibi. Romeo jugalah yang harus Jovanka repotkan, meski harus pasrah menerima pelototan dan juga semburan kemarahannya.

Empat hari itu sebenarnya belum cukup, kalau bisa Jovanka ingin menghindar selama mungkin. Paling tidak setelah ia berhasil sedikit berbesar hati menerima kenyataan, atau setelah ia mampu mengatasi hatinya untuk menerima dengan lapang.

Bahwa cinta tak selamanya bersama. Ingat ia memiliki Bunda dan Ayah yang saling mencintai selama mereka bersama. Tapi kemudian kematian memisahkan keduanya.

Dengan mengingat itu saja Jovanka sudah jauh lebih bersyukur. Setidaknya ia pernah merasakan bagaimana dicintai olehnya. Dan bersyukur pula bukan kematian yang melandasi mereka berpisah. Dia masih hidup dalam keadaan sehat saja Jovanka juga sudah sangat sangat bersyukur.

"Kak Vanka nggak mau lagi nemenin Tata masuk ketemu Bang Lome? Kenapa?"

Mereka sudah berdiri di lobi perusahaan. Sekretaris Jerome sudah menunggu untuk mengantarkan mereka ke ruangan pemilik perusahaan ini. Seketika Jovanka merasa lalai menjaga amanah, padahal Yoga selalu berpesan padanya agar memastikan Metta selalu aman. Dan sekarang, Romeo yang biasanya dimintai tolong sedang keluar, hanya seorang sekretaris yang menyambut keduanya.

"Kak Vanka temenin kok." Putus Jovanka pada akhirnya. Lagi lagi Metta kesini sembari membawa makan siang. Ayam goreng masih menjadi menu utama, tapi gadis kecil itu juga membeli sushi untuk dirinya sendiri.

"Ya udah, ayo! Bang Lome pasti seneng temen makannya bertambah."

Makanan yang terbungkus dalam tas diambil alih oleh sekretaris Romeo. Jovanka berucap terimakasih karena masih mengenal pria itu. Selanjutnya Metta menggandengnya ceria, sangat bersemangat ketika mengajaknya masuk kedalam lift. Gadis kecil itu juga berceloteh panjang lebar menceritakan kegiatannya di sekolah, kadang bercerita tentang teman temannya. Dan sejauh pengamatan Jovanka, Metta benar benar adalah anak yang ceria. Budaya dan lingkungan yang berbeda sepertinya tidak menjadi masalah bagi Metta untuk berteman dengan siapa saja. Meski tak dipungkiri Metta masih kesulitan untuk menghilangkan logat bulenya.

Sesampainya di lantai dimana ruangan Jerome berada, mereka langsung diarahkan untuk memasuki pintu. Sekertaris Jerome berpamitan, dan menyerahkan tas yang mereka bawa pada Jovanka kembali karena akan ke pantry mengambil peralatan makan.

Jovanka menarik napas dan menghembuskannya berkali kali. Sesampainya di dalam mereka disambut oleh suara muntahan yang berasal arah kamar mandi. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Jovanka memilih berdiri diambang pintu sampai pemilik ruangan memberinya izin. Sedang Metta sudah berlarian kearah kamar mandi.

Jantung Jovanka berdegup kencang, suara muntahan yang didengarnya berasal dari seorang wanita. Menurut dari pengalamannya, Shinta, Lala, maupun Karina juga mengalami muntah muntah saat masa kehamilan. Dan bukan tidak mungkin di dalam kamar mandi sana yang tengah muntah tersebut adalah Luna. Luna tengah hamil bukan? Itu yang Jovanka tahu saat acara kemarin di kediaman keluarga Delano.

Tas yang terbuat dari bahan plastik digenggamannya diremat kuat, sesaat siluet tiga manusia yang berada di dalam kamar mandi keluar secara bersamaan. Tebakan Jovanka benar, Luna yang lemas tengah di bopong oleh Jerome dan kemudian di dudukkan diatas sofa panjang.

Belum ada yang menyadari kehadiran Jovanka, terlebih posisi mereka yang memunggungi. Juga letak sofa yang cukup jauh dari pintu.

"Abang, apa dedeknya nakal? Dedeknya bikin Kak Luna muntah terus?" Suara Metta yang bertanya terdengar khawatir.

Belenggu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang