***
Jovanka tidak tahu ini kota dibagian bumi mana. Yang ia tahu mereka baru saja menempuh perjalanan udara dengan helikopter, dan kini dirinya sudah berada dalam mobil melanjutkan perjalanan bersama Nathan yang menyetir.
Udara disini sangat dingin, kabut tebal mengganggu penglihatan.Tapi bukan itu yang mengganggunya, melainkan perasaan asing dihatinya, yaitu perasaan bersalah entah karena apa.
Usapan lembut dari telapak tangan Nathan diatas kepalanya memaksa Jovanka menoleh. "Ini satu satunya tempat yang bisa kutunjukkan padamu, kamu pasti akan menyukainya."
Jovanka tidak yakin itu. Kota ini sepertinya sangat lembab untuk ditinggali, tapi ia tidak mungkin merengek untuk meminta pulang sementara Nathan sudah berusaha keras membawanya ke tempat yang memang dibutuhkan Jovanka untuk sendiri.
Mobil berhenti di sebuah halaman rumah dengan jarak beberapa kilometer dari pantai. Tanah berumput menyapa pijakan kaki Jovanka saat turun dari dalam mobil. Ia melihat sekelilingnya yang penuh pepohonan, juga tak adanya rumah lain selain rumah dua lantai dihadapannya sekarang. "Selamat datang di tanah kelahiranku, Jovanka."
Nathan merentangkan tangannya lebar sambil menghirup udara rakus. Pria itu terlihat senang, dan apa katanya tadi, tanah kelahirannya?
"Kak Nathan lahir disini?"
"Eum, aku bahkan besar disini. Ini seperti pulang ke rumah. Mau masuk sekarang?"
Nathan mengulurkan tangan, menuntun Jovanka berjalan sementara koper gadis itu diseretnya.Tak ada yang special ketika Jovanka memasuki rumah tersebut, penilaiannya hanya satu; rumah ini sangat nyaman ditinggali.
"Dulunya rumah ini sangat kecil, aku melakukan beberapa perubahan untuk membuat rumah ini nyaman dihuni. Ibuku seorang buruh yang bekerja apapun untuk menghasilkan uang. Ayah juga tidak jauh berbeda." Nathan terlihat tersenyum getir, tapi Jovanka kurang yakin dengan penglihatannya tersebut. Mungkin saja itu efek buram dari lensa kacamatanya.
"Mereka pekerja keras, tapi sayang tidak menghasilkan apapun mengingat ayah sangat gemar berjudi. Aku melarikan diri dari kota ini ketika ibu meninggal."
Selayaknya berdongeng, Nathan hanya mengoceh tanpa memperlihatkan raut wajah yang berarti. Ia malah membuka pintu salah satu kamar yang diikuti Jovanka dengan sedih.
Setelah apa yang Nathan lakukan untuk membantunya selama ini, Jovanka bahkan tidak tahu bahwa Nathan memiliki masa lalu sekelam itu.
"Nah, ini kamarmu. Kamu bisa melakukan apa saja disini. Hey, ada apa dengan wajah sedih itu? Kamu tidak suka tempatnya?"
Nathan mendekati Jovanka sebelum menggiringnya duduk di tepi ranjang. Nathan sendiri berjongkok di depannya. "Vanka, aku bawa kamu kesini supaya berfikir. Anggap saja kita sedang liburan sampai kamu cukup tenang untuk kembali."
"Bukan itu."
"Maksudnya?"
"Kak Nathan nggak pernah cerita soal masa lalu kakak sama aku."
"Tunggu, kamu sedih karena mendengar ceritaku?"
Anggukan Jovanka membuat Nathan langsung tertawa terbahak. "Itu hanya masa lalu. Lihat sekarang, aku hidup dengan layak dan memiliki sahabat yang sudah seperti keluarga sendiri. Dan juga ayah yang cerewet, yah meski bukan ayah kandung tapi aku sangat menyayanginya melebihi apapun."
"Kak Nathan tidak sedih?"
"Aku justru bersyukur. Ah, sudahlah ini bukan saatnya membicarakan tentangku. Sekarang kamu istirahat, karena banyak yang ingin kutunjukkan padamu selama kita disini." Nathan berdiri, ia tepuk sisi kepala Jovanka lembut. "Dan niatku bercerita karena ingin kamu sepertiku. Paling tidak berdamailah dengan masa lalu Jovanka, jangan dilupakan tapi jadikan pembelajaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...