Jerome tidak pernah merasa sebajingan ini dalam hidupnya. Membuat Rachel menangis karena hancur dan merasa menjadi seorang ibu yang gagal mendidik putranya adalah hal yang tidak pernah Jerome inginkan.
Ia duduk diruang tamu di kediaman orangtuanya, dengan rasa lelah dan penat setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam dari Jerman. Rumah ini masih sangat ramai, berbagai macam hidangan memenuhi setiap meja yang ada. Penuh sorak, penuh kegembiraan sepanjang mata melihat dan telinganya dengar. Namun, di tengah riuhnya keluarga yang hadir, suara tawa keras sang kakek lah yang mendominasi.
Pria tua itu yang lebih banyak berbicara, seruannya tidak luput dari acara membanggakan keturunannya. Yoga yang beginilah, Jerome yang begitulah. Semuanya tampak dilebih lebihkan, sombong lebih tepatnya.
Si tua itu pasti sangat amat puas sekarang. Semua dibawah kuasa dan kontrolnya. Ketetapan seorang mantu yang masuk di keluarga Delano, baik kedudukan dan strata ekonomi tak sedikitpun meleset dari tolak ukurnya. Semuanya sempurna, panggilan teleponnya malam itu benar benar dimenangkan oleh tuan Abian yang terhormat tersebut.
"Menurutmu dosa apa enggak ngasih racun diminuman si tua itu?" Suara bisikan mampir di telinganya, dari seorang perempuan yang memiliki pemikiran yang sama disebelahnya.
Jerome menoleh, tak bisa bersikap abai pada perempuan itu. Meski matanya melirik sinis pada orangtua yang masih asyik bercengkrama disana, wajah pucatnya tetap tak dapat membohongi Jerome bahwa perempuan itu tidak seratus persen dalam kondisi yang baik.
"Habiskan susumu dan berhenti menggerutu hal buruk yang mengakibatkan 'dia' bisa mendengarnya."
"Aku bisa keracunan susu jika kamu tetap memaksa. Aku mau air putih saja, please?" Jerome beranjak untuk mengambil apa yang perempuan itu mau. Segelas air putih ada digenggaman, perempuan itu menerimanya dengan antusias dan meminumnya sampai tandas ketika Jerome kembali.
"Hamil membuatku tidak punya malu." Perempuan itu kembali mengeluh, perutnya yang masih samar ia usap perlahan. "Aku bahkan minum seperti orang barbar dihadapanmu, pasti menjijikkan sekali ya punya istri sepertiku?" Sambungnya dengan bibir cemberut.
Istri?
Jerome meringis dengan fakta itu. Ia adalah seorang suami sekarang, dengan seorang istri yang kandungannya jalan dua bulan.
Perjodohan? No. Perempuan ini dinikahinya dalam sadar, penuh pertimbangan ketika memantapkan diri untuk membawanya pada ikatan suci pernikahan. Meski sesudahnya Jerome harus rela mematikan hatinya untuk yang kedua kalinya.
Jadi karena pilihannya telah jatuh pada sosok perempuan yang kini menyandang namanya; Aluna Conchita Delano. Maka kini Jerome bertanggungjawab besar atas istrinya tersebut.
"Mau istirahat sekarang?"
"Tapi acaranya belum selesai."
"Mereka akan mengerti. Kamu sedang hamil dan baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan, kamu butuh untuk tidur Luna."
"Kalau begitu sebentar lagi saja. Ini acara penyambutan untuk menantu di keluarga Delano, setidaknya aku tidak mau di cap sebagai menantu yang buruk dipertemuan pertama di depan keluarga besarmu."
Jerome menghargai keinginannya, setidaknya sejauh ini Luna sangat penurut padanya. Dia tidak pernah membantah, dia belajar banyak untuk menjadi seorang istri yang baik untuknya.
Jerome memutuskan untuk duduk kembali di samping Luna, wanita itu langsung menyandar manja di lengannya, sedang tangan Jerome wanita itu tarik kearah perutnya. Calon bayi mereka sangat manja, dan hanya usapan Jerome lah Luna biasanya mereda mualnya.
Lalu Rachel kemudian datang menghampiri keduanya, ia mengajak Luna untuk berdiri. "Selain keluarga kami, kamu harus mengenal juga sahabat Al dan Rome di kantor, ayo mereka sudah datang. Sengaja Mama mengundang mereka agar datang kemari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
Ficción General18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...