Ada untungnya juga semalam Jovanka sakit perut, karena setelahnya kakinya tidak lagi di rantai.Jerome juga libur berteriak teriak memarahinya. Sikap dinginnya masih, tapi meski begitu ialah orang yang paling sibuk mengurusi Jovanka. Bahkan meski terlihat tidak peduli dan mengeluarkan kata kata menyakitkan tiada henti, Jerome malah mendatangkan dokter untuk memastikan sakit diperutnya tidak parah.
Dokternya masih muda, tampan, terlihat sekali dokter itu merupakan produk jadi yang hampir mendekati sempurna. Jovanka tak mengenalnya, tapi dokter muda itu mengaku mengenal Jovanka. Katanya sih dokter itu pernah beberapa kali melihat Jovanka di Rumah Sakit keluar dari ruangan dokter Revano. Ngomong-ngomong soal dokter Revano, beliau adalah dokter pribadi keempat bosnya. Biasanya Jovanka mendatangi dokter Revano jika harus mengatur jadwal untuk mengecek kesehatan bosnya. Atau saat Jovanka datang saat meminta vitamin.
Dan seakan tak cukup dengan seluruh pemeriksaan tadi malam, dokter muda itupun kembali datang pagi ini.
"Perutmu kurasa sudah tidak bermasalah. Tapi saya yakin batinmu yang bermasalah disini."
"Batinku?" Bingung Jovanka. Jovanka melihat dokter Arsa mengangguk, memamerkan kedua lesung pipinya yang imut. Aduh Jovanka langsung baper, apalagi saat dokter Arsa meletakkan telapak tangannya diatas dadanya sendiri.
"Disini." Ujar dokter Arsa. "Sepertinya kamu tidak senang berada ditempat ini?"
Jovanka bisa saja mengatakan iya, tapi keberadaan Romeo yang memiliki kebiasaan baru berdiri tegap disamping ranjang dengan wajah kakunya membuat Jovanka hanya berani tersenyum saja.
"Pasti menyenangkan menjadi seorang dokter dan mengobati banyak orang seperti dokter Arsa? Hehehe," Jovanka melakukan pengalihan, ia hanya ingin mereka berhenti membahas masalah sensitif dan Jovanka pagi ini cukup lelah untuk bertengkar dengan Jerome.
"Saya dulu bercita cita ingin menjadi seorang pelukis. Ayah cukup pintar melukis bahkan saya meminta beliau untuk melukis tembok dikamar. Tapi sayang, saya sendiri tidak memiliki bakat itu."
"Oh yah? Saya malah tidak pernah bercita cita menjadi seorang dokter."
Bukankah itu menakjubkan. Tidak bercita cita menjadi dokter tapi bisa menjadi dokter sejak usia muda dan bertugas di rumah sakit besar pula. "Benarkah?"
"Saya pernah menjadi seorang fotografer waktu SMA. Bukan seorang profesional, tapi saya lakukan karena memang hobi ."
"Fotografer? Ya ampun, kenapa dokter Arsa sehebat itu?!" Pekik Jovanka heboh, ia bahkan bertepuk tangan merasa takjub. Jerome yang sedang menyelesaikan pekerjaannya disamping jendela sampai menoleh. Tatapan tajamnya terarah pada Arsa yang membuat dokter muda tersebut tertawa.
"Saya tidak sehebat itu Jovanka. Tapi terimakasih atas pujiannya."
"Jika dokter menyukai menjadi fotografer, lalu kenapa dokter Arsa sekarang memilih menjadi dokter?"
"Berhenti bersikap cerewet, kamu bukan wartawan!" Mungkin karena merasa sudah jengah Jerome akhirnya bersuara. Jovanka menatapnya tak suka, lalu memalingkan muka tak peduli.
"Maaf dokter, kalau saya terlalu cerewet." Ujar Jovanka penuh penekanan.
"Tidak masalah, saya senang kamu bertanya. Alasan kenapa saya memilih menjadi dokter ketimbang menjalani profesi yang saya sukai, itu karena gadis yang saya cintai koma. Rasanya tidak berguna saat melihatnya kesakitan dan saya tidak bisa melakukan apa-apa." Jovanka menatap dokter Arsa sedih, merasa bersalah karena sudah salah bicarakan. "Tapi sekarang dia sudah siuman."
"Sungguh? Gadis yang dokter cintai itu sudah sehat?"
"Iya, dia sehebat kamu."
"Gadis itu pasti sangat beruntung dicintai oleh dokter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu ✔️
General Fiction18+ "Jadilah pelacurku!" Mungkin Jovanka tuli, sebab ia menangkap kata asing dari suara berat Jerome. Juga bagaimana tatapan pria itu yang semakin mendingin. "Ya? M-maksud, Ba-," "Jadilah pelacurku apa kamu tuli!" Kini Jerome membentak nyaring. Jova...